Minggu, 13 Maret 2011

Kota Tertib, yang Bebas Polusi dan Sampah


Soal sukses menjadi tuan rumah even akbar olahraga, Cina patut menjadi rujukan Sumsel yang akan menggelar SEA Games 2011. Selain sukses menggelar Asian Games 1990 dan 2010, China juga mampu menghelat Olympiade pada 2008 silam. Guna belajar kiat sukses China, Saya bersama sejumlah insan pers Palembang mulai 28 Februari hingga 7 Maret mendapat kesempatan langka mengunjungi Kota Shanghai dan Beijing, Republik Rakyat China (RRC).
Tak bisa dipungkiri, China sejak dahulu kala sudah menjadi rujukan berbagai bangsa untuk menimba ilmu. Bahkan ada pepatah lama, yang menyebutkan agar kita dapat terus menuntut ilmu, bahkan sampai ke Negeri China sekalipun. Sehingga adalah tepat jika Sumsel menjadikan China sebagai rujukan menimba ilmu, sebelum menggelar SEA Games pada 11 November 2011 kelak.
Pasalnya, untuk urusan gelaran olahraga multi even, China tak perlu diragukan. Negeri Tirai Bambu ini sukses menggelar Asian Games pada 1990 dan 2010 serta Olympiade pada 2008 silam. Kisah sukses China atau yang akrab disebut juga Tiongkok itu, tak lepas dari disiplin dan etos kerja masyarakat yang benar-benar patut diacungi jempol.
Contoh disiplin tinggi warga China, terlihat dari lalu lintas di Shanghai dan Beijing. Warga disini patuh dengan aturan berlalu lintas. Bagaimana bisa demikian? Karena aturan dan petugas lalu lintas sangat tegas. Bayangkan saja, di setiap lampu merah bisa dipastikan ada kamera CCTV. Jika tertangkap kamera melanggar peraturan lalu lintas, sanksi yang dijatuhkan lumayan berat.
“Pada akhir bulan si pelanggar mendapat tagihan yang jumlahnya bisa mencapai 500 yuan atas setara dengan Rp 675.000 (1 Yuan = Rp 1.350). Jika tidak membayar denda, kendaraan yang melanggar akan diambil oleh pemerintah. Warga disini juga tidak kenal dengan istilah suap atau sogok menyogok petugas, karena dia bisa dihukum berat. Selain itu, sudah puluhan pejabat China yang dihukum mati karena korupsi,’’ jelas Johan, guide lokal Shanghai yang fasih berbahasa Indonesia.


Ketertiban berlalu lintas, lanjut Johan, juga karena pemerintah setempat melarang hadirnya sepeda motor. Sebagai sarana transportasi pengganti sepeda motor, warga lebih memilih bus, taksi, subway (KA bawah tanah), sepeda angin atau sepeda elektrik bertenaga accu yang aman polusi. Dengan tidak adanya sepeda motor, praktis lalu lintas di Shanghai dan Beijing tertib dan bebas polusi. Pertanyaan timbul kemana larinya sepeda motor produksi China? “Umumnya sepeda motor made in China dikirim ke daerah-daerah luar kota, atau ke luar negeri,’’ ujar Johan. Juga soal kebersihan, warga China sejak dahulu dididik malu membuang sampah sembarangan. Sehingga wajar saja, walaupun termasuk berpenduduk padat, baik di Shanghai maupun Beijing tak pernah terlihat tumpukan sampah di pinggir jalan.
“Budaya di sini sudah tertanam rasa malu. Siapapun yang membuang sampah sembarangan akan malu dilihat orang lain. Termasuk pengemis, mereka malu untuk meminta kepada turis dari luar. Mereka akan minta kepada penduduk lokal. Biasanya mereka pun datang dari luar kota,” tutur Johan.
Fung-fung menambahkan, 5 tahun lalu sebagian warga China, khususnya Beijing, kehidupannya masih agak jorok. “Itu bisa dilihat dari kondisi WC umum yang ada di setiap kawasan, mulai terminal, pasar, hingga objek wisata. Saat itu sulit menemukan WC umum yang bersih. Namun kini, kondisinya lebih baik,’’ ujar Fung-fung.


Untuk membuktikan perkataan Fung-fung, saya memasuki salah satu WC umum yang ada di kawasan wisata Summer Palace (Istana Musim Panas, red), yang ada di Distrik Hidian, tepatnya dibagian barat laut pusat Kota Beijing. Walau sudah tidak jorok, tapi sisa-sisa “masa kegelapan” masih saya temukan. Air pembilas masih menjadi barang langka, karena warga disini masih menggunakan tisu untuk membersihkan bekas buang air.
Karena air pembilas tak ada, bau menyengat khas WC umum masih tercium. Guna menghilangkan bau tersebut, pengelola WC umum memberi beberapa buah kapur barus di masing-masing kloset. Nah, bagi turis yang masih kurang puas jika tak membilas bekas buang air dengan air, seperti turis asal Indonesia, membawa botol air mineral dan tisu basah menjadi solusi yang tepat.
Ketika hal itu ditanyakan kepada Fung-fung, lelaki supel berkacamata itu tak membantahnya. “Ya, kondisinya memang demikian. Walau belum bisa dibandingkan dengan WC umum di Singapura, namun kebersihannya sudah lebih baik jika dibandingkan 5 tahun lalu,’’ jelas Fung-fung. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar