Rabu, 23 Desember 2009

Menikmati Vientiane dari atas Kolao 09


Bukannya mau meniru Ernesto Che Guevara, pejuang revolusi Argentina yang di kala muda berkeliling Amerika Latin dengan sepeda motor. Namun seperti itulah yang saya lakukan, saat mengunjungi Vientiane, Laos, 7-20 Desember lalu, untuk meliput SEA Games XXV 2009. Selama di ibukota negara berfaham Komunis itu, saya selalu setia di atas sepeda motor matic sewaan merek Kolao (Korea-Lao), mengunjungi sejumlah objek wisata Laos yang sangat eksotis.
Objek wisata di Vientiane yang pertama kali dijejaki roda-roda Kolaomatic 09 yang saya tunggangi yakni Patuxay Park atau lapangan kemerdekaan. Di lapangan yang terletak di jantung Vientiane, berdiri sebuah bangunan unik. Sebuah bangunan yang mirip sekali dengan Arc de Triomphe di Paris. Wajar, karena Laos sempat beberapa saat menjadi daerah jajahan Perancis.

Monumen yang dijuluki Champs Elysées dari Timur itu, dibangun antara 1962 dan 1968 untuk menghormati para pahlawan Laos yang berjuang membebaskan negeri itu dari penjajahan Perancis. Dari puncak monumen besar yang dapat dinaiki itu, kita menikmati suasana indah Patuxay Park yang berhadapan dengan gedung pemerintahan dan juga dihiasi air terjun menari. Yang menarik, di Patuxay Park Palembang Pos menemukan Gong Perdamaian yang merupakan sumbangan Indonesia. Monumen gong itu, ada di ujung Patuxay Park.
Puas menjelajahi Patuxay Park dengan beragam sisi eksotisnya, Kolaomatic 09 saya arahkan ke sebuah monumen kuno yang berada di dekat Kedubes AS. Ya, sebuah kuil kusam bernama That Dam. Saking kusamnya, kuil terbesar di Vientiane ini dijuluki Black Stupa.


Ada lagi kuil yang identik dengan Laos. Kuil bernama bernama That Luang itu menjadi ikon negeri seribu gajah itu. Hal ini tak berlebihan, karena selain sebagai pusat spiritual, That Luang menjadi simbol kemerdekaan Laos dan kedaulatan sejak zaman Lane Xang, beberapa ratus tahun yang lalu. Konon, di stupa That Luang dahulu kala ada stupa kecil dari emas murni. Namun stupa emas itu dijarah pada saat invasi Haw pada akhir abad ke-19
Tetap setia dengan Kolaomatic 09, saya menuju Sungai Mekong. Jangan bayangkan sungai ini seperti Musi di Palembang. Sebab di siang hari Mekong kurang enak dipandang mata, karena dihiasi gundukan pasir yang baru dikeruk. Suasana pinggiran Mekong mulai hidup di malam hari, saat di sepanjang jalan di sisi sungai itu dipenuhi pedagang kali lima. Saat itulah, Sungai Mekong mulai dibanjiri turis-turis asing.


Nah di pinggiran Sungai Mekong, sekitar 24 km dari Vientiane, ada sebuah taman yang dipenuhi ratusan patung-patung Budha dan Hindu. Oleh warga Laos, taman yang dikenal dengan nama Budha Park itu, disebut Xien Khuan atau Kota Arwah. Beragam karakter patung Budha dan cerita Hindu ada di taman ini. Yang paling menarik perhatian adalah patung Buddha posisi berbaring dengan satu tangan menyangga kepala.
Puas menikmati objek wisata sejarah, Kolaomatic 09 saya arahkan ke sentra cendera mata khas Laos, Market Morning. Lucunya warga Vientiane banyak yang tidak tahu saat ditanya Market Morning, walau tulisannya tertera besar-besar di pasar tersebut. Wajar saja, karena disini sangat minim yang bisa berbahasa Inggris dengan baik. Kalaupun bisa, hanya untuk percakapan dasar.
Di Market Morning, beragam cinderamata dapat kita dapatkan. Mulai dari kain khas Laos, gantungan kunci, baju bergambar gajah sebagai hewan nasional Laos, termasuk juga minyak kobra. Harganya juga beragam, ada yang mahal, tak sedikit pula yang miring. Enaknya, nilai mata uang Laos, Kip, sama dengan Rupiah. Sehingga tak pusing menghitung kurs, karena langsung bisa tawar menawar menggunakan kalkulator.



Satu lagi sisi menarik yang saya temukan di Laos. Untuk satu jenis barang, harga jualnya sama, apakah di mall (yang lebih mirip shoping centre daripada mall) atau pasar tradisional seperti Market Morning. Misalnya kerajinan kayu tempat pena dan kartu nama, baik di mall maupun Market Morning harganya sama, 40 ribu-50 ribu Kip. Harga itu masih bisa turun sedikit, tapi itu tergantung kepintaran pembeli menawar. Oke cinderamata sudah ada di tangan, saya beranjak meninggalkan Morning Market sambil mengucapkan salam khas warga Laos dan ucapan terima kasih, sabaidee......khop chai...lye...lye (baca: kopcai....lai...lai...)(**)

Senin, 17 Agustus 2009

Putihnya pasir Pantai Panjang Bengkulu



SALAH satu destinasi wisata di Kota Bengkulu adalah Pantai Panjang. Pantai dengan pasir putih yang hanya berjarak 3 km dari pusat Kota Bengkulu, layak dijadikan wisata andalan. Bagaimana tidak, jika ke Bengkulu tidak menikmati deburan ombak dan matahari terbenam di Pantai Panjang, serasa tak menapaki Bumi Raflesia secara sempurna.
Kunjungan saya ke Pantai Panjang kali ini, merupakan kunjungan kedua setelah pada 1997 silam. Saat itu Pantai Panjang yang terbentang sejauh 7 kilometer dan lebar 500-an meter dengan pantai yang landai, masih belum banyak tersentuh penataan. Semuanya dibiarkan “alami” dan apa adanya. Kalaupun ada bangunan wisata, hanya sekedarnya.
Pemandangan berbeda saya rasakan saat kembali menapaki pasir putih Pantai Panjang. Soalnya, kini suasana sudah amat berubah. Pantai Panjang benar-benar menjadi objek wisata andalan Bengkulu. Setiap sudut di pantai ini ditata guna menciptakan rasa nyaman bagi para pengunjung.



Tidak itu saja, untuk mencari tempat bermalam di sini juga sangat mudah. Karena di sepanjang pantai, kini berdiri sejumlah hotel berbintang dan cottage dengan fasilitas luks. Tidak itu saja, kini juga ada pusat hiburan malam, restoran, kolam renang dan tempat bermain anak-anak.
Sehingga wisatawan kini dapat menikmati nuansa alam Pantai Panjang dengan santai. Tinggal buka pintu hotel, pantai sudah ada di seberang jalan. Bahkan saat membuka tirai hotel, putihnya debur ombak sudah terlihat jelas.
Selain kemudahan mencari penginapan, wisatawan juga disuguhi berbagai atraksi menarik di Pantai Panjang. Mulai dari jetsky hingga banana boat. Pokoknya adrenaline wisatawan akan dipacu dengan atraksi-atraksi tersebut. Tapi bagi yang hanya ingin menikmati semilir angin pantai jangan khawatir, karena berbagai sarana juga tersedia.
Mau dengan naik delman atau jalan kaki. Pokoknya asyiknya tak terkira. Belum lagi atraksi gajah-gajah lucu yang siap membawa kita menyusuri kawasan pantai. Walau sudah ditata disana-sini, kesan alami Pantai Panjang masih terus dipertahankan. Apalagi deretan Pohon Cemara dan Pinus yang layaknya menjadi pagar penjaga pantai masih terawat dengan baik.



Menurut Ali, warga Bengkulu, Pantai Panjang kini menjadi tujuan wisata utama warga Bengkulu, bahkan dari provinsi tetangga, seperti Sumsel misalnya. “Setiap hari libur, banyak orang yang sengaja datang untuk menikmati suasana alami Pantai Panjang. Puncaknya sore hari, saat matahari terbenam. Banyak yang datang dengan keluarga, menggelar tikar, dan makan-makan bersama,’’ ujarnya.
Hanya saja, Ali masih menyayangkan penerangan di kawasan Pantai Panjang yang masih minim. “Kalau sudah malam, kawasan ini gelap gulita. Cahaya hanya datang dari deretan hotel itu saja. Sangat bagus jika penerangan di kawasan ini diperbanyak, sehingga pada malam haripun Nampak tetap cantik,’’ harapnya seraya menambahkan selain Pantai Panjang, di Bengkulu juga ada pantai lain yang menjadi objek wisata yakni Pantai Tapak Paderi dan Jakat. (**)

Fort Marlborough, warisan kolonial Inggris


JIKA berkunjung ke Bengkulu, serasa tak lengkap jika tidak menyambangi benteng peninggalan Inggris terbesar di Indonesia, Fort Marlborough. Benteng ini merupakan salah satu warisan masa kolonial Inggris di Bumi Indonesia yang masih bertahan hingga kini.
Benteng yang dibangun selama 6 tahun (1713-1719) pada masa Gubernur Joseph Callet berkuasa di Bengkulu, berdiri kokoh di atas dataran seluas 44.100,5 meter2, panjang 240,5 m dan lebar 170,5 m, dengan ketinggian lebih kurang 8,5 meter. Benteng ini menghadap tepi laut, tepatnya Pantai Tapak Paderi.
Sangat gampang menuju benteng ini, karena masih di dalam Kota Bengkulu. Hanya dengan membayar Rp 2500 perorang, kita sudah dapat menjelajahi masa kejayaan perdagangan Inggris di Bengkulu. Karena selain aktifitas militer, benteng ini dulu juga dijadikan tempat koordinasi kelancaran suplai lada perusahaan dagang Inggris, East Indian Company (EIC), dan pusat pengawasan bagi jalur pelayaran dagang yang melewati Selat Sunda.



Benteng Marlborough berbentuk kura-kura dengan kepala ke barat daya. Pintu masuk benteng mengarah ke barat, yaitu sisi mata kanan kura-kura dengan pintu masuk dan jembatan yang menghubungkan jalan masuk dengan bagian luar.
Pada bagian kepala dan badan dihubungkan dengan jembatan yang membentuk bagian leher. Pada bagian belakang benteng terdapat pintu masuk dari belakang dan sebuah jembatan di atas parit yang membentuk bagian ekor. Pada masanya, ketiga jembatan itu dapat diangkat dan diturunkan. Disekeliling benteng dari batas terluar dinding masih terdapat batas-batas asli berupa parit-parit.
Saat kita memasuki Fort Marlborough, kita disambut 4 buah nisan, yang dua diantaranya merupakan peninggalan masa Benteng York (benteng yang dibangun Inggris sebelum Benteng Marlborough). Pada nisan-nisan tersebut tertera nama George Shaw (1704), Richard Watts Esq (1705), Capt. James Coney (1737), dan Henry Stirling (1774).
Tak jauh dari nisan tersebut, kita disambut 3 buah makam. Menurut informasi, ketiga malam itu makam Thomas Parr, Charles Muray dan satu makam tak dikenal. Konon dulunya, Fort Marlborough juga menjadi tempat tinggal petinggi militer Inggris dan pegawai EIC.



Konon pada 1792 di benteng itu berdiam lebih dari 90 pegawai sipil dan militer. Sehingga bisa dikatakan, Fort Marlborough kala itu ibarat sebuah kota dalam benteng. Ini diperkuat dengan catatan-catatan perkawinan, pembaptisan, dan kematian, yang masih tersimpan rapi di dalam benteng ini.
Setiap bangunan di benteng ini mempunyai ruangan-ruangan yang berfungsi sebagai tempat tahanan, gudang persenjataan, perlengkapan dan kantor. Pada tiap kaki kura-kura (bastion) terdapat beberapa pucuk meriam, baik berukuran besar maupun berukuran kecil.
Pada bagian bawah bangunan kaki kura-kura bagian utara, terdapat terowongan yang berukuran panjang 6 m dan lebar 2 meter. Dalam bangunan terdapat lubang perlindungan yang dipergunakan sebagai jalan keluar dari kepungan musuh. Bagian tengah benteng terbuka tanpa atap, sedang lantainya terbuat dari ubin, batu kali atau karang sedang atap terbuat dari genteng.
Pintu gerbang dan pintu-pintu ruangan lainnya terbuat dari kayu yang diberi penguat berupa pasak-pasak besi. Sedangkan ruang tahanan menggunakan terali besi. Menurut sejarah, di salah satu ruangan ini, pernah ditahan Bung Karno. Namun disayangkan, kenikmatan mengenang masa lalu di benteng yang sangat bersejarah ini agak berkurang, karena bau pesing di sejumlah ruangan dalam benteng. (**)

Jumat, 13 Maret 2009

Indahnya panorama Pantai Cha Am


JIKA mendengar nama Pattaya atau Pukhet sebagai destinasi wisata di Thailand, pasti orang sudah lazim. Tapi jika disebutkan nama Pantai Cha Am, sebagian orang pasti merasa asing. Wajar saja, karena Cha Am tidak termasuk dalam kategori Thailand's famous atau pun top ten daerah wisata di sana. Padahal, Cha Am sebetulnya tidak kalah indahnya dengan Pattaya atau Pukhet.
Disela-sela meliput ASEAN Summit (IMTGT Summit) di Thailand, 28 Februari lalu, saya beberapa saat sempat menikmati indahnya panorama Pantai Cha Am. Untuk mencapai Pantai Cha Am cukup melelahkan. Dengan bus, pantai cantik itu baru bisa dijangkau dalam waktu sekitar 2 jam lebih. Wajar saja, karena jarak Cha Am dari Bangkok mencapai 200-an km.
Woddi, guide asli Thailand yang fasih berbahasa Indonesia, menjelaskan Cha Am ialah sebuah distrik di bagian Selatan Provinsi Phetchaburi, Thailand Tengah. “Distrik ini didirikan pada 1897 dengan nama Na Yang. Pada 1914 pusat distrik ini dipindahkan ke Ban Nong Chok (kini di distrik Tha Yang) dan berubah nama menjadi Distrik Nong Chok. Setelah Perang Dunia II, pemerintah memindahkan kantor ke Tambon Cha Am dan juga mengubah namanya menjadi Cha Am,’’ jelas Woddi.
Cha Am kian terkenal, lanjut Woddi, saat pada 1928, Raja Rama VII membangun istana dengan nama Glai Gangwon di Hua Hin, yang merupakan kota paling dekat dengan Pantai Cha Am. “Glai Gangwon kurang lebih bisa diartikan jauh dari keramaian atau pusat perhatian,’’ kata Woddi.
Sehingga sebetulnya, menurut Woddi, Pantai Cha Am sudah sejak 40 tahun lalu menjadi destinasi wisata, sebelum Pattaya dan Pucket mendunia. “Apalagi disini ada istana Raja Thailand,” kata Woddi. Saat tiba di Pantai Cha Am, saya mendapati pantai ini sesuai namanya Glai Gangwon, atau jauh dari pusat keramaian.
Karena kawasan Pantai Cha Am itu sepi dan lenggang. Tapi jika musim liburan atau di akhir pekan, menurut Woddi, pantai ini sangat ramai dengan berbagai aktifitas wisata. Bahkan tambah Woddi, Pantai Cha Am merupakan salah satu kawasan resort mewah di Thailand. Memang di sepanjang Pantai Cha Am banyak berdiri hotel dan resort mewah. Sangat mirip dengan kawasan Nusa Dua, Jimbaran, atau Tanjung Benoa di Bali, yang juga dipenuhi hotel dan resor bintang lima seperti Hyatt, Westin dan lain-lain.
Selain itu jalan-jalan di kawasan Pantai Cha Am dipenuhi penjual suvenir khas Thailand, termasuk beberapa kafe dan panti pijat Thai yang terkenal itu. Tapi jangan harap bisa menemui nightlife seperti di Pattaya.



Soal keindahan Pantai Cha Am tak usah diragukan, karena pasir putihnya yang tebal dan air birunya yang membentang indah. Hanya saja, kita tak akan menemukan ombak besar dan bergulung-gulung di pantai. Pasalnya, Pantai Cha Am relatif tak berombak, alunnya tenang dan hanya sedikit berbuih.
Beragam atraksi khas pantai dapat dijumpai di Pantai Cha Am. Mulai speedeboat hingga banana boat dan jetsky. Kalaupun malas berenang, kita dapat menyusuri pantai naik kuda atau bermain pasir. Jika ingin bermalas-malasan, di Pantai Cha Am juga banyak disediakan kursi malas untuk wisatawan bersantai sambil menikmati angin pantai.
Satu lagi keunggulan Pantai Cha Am, yakni makanan lautnya yang sangat terkenal. Selain di restoran, makanan laut juga dijual oleh pedagang kaki lima di pinggir pantai. Ingin udang atau cumi bakar, tinggal panggil penjualnya. Harganya tidak terlalu mahal, dijamin tak memberatkan kocek kita. Oh ya satu lagi, keunggulan lainnya Cha Am yakni menjadi tempat satu-satunya universitas Amerika di Thailand. Universitas Webster memiliki lebih dari 300 mahasiswa dari mancanegara. (**)

Rabu, 11 Maret 2009

Menikmati deburan ombak Chao Phraya


Bila berbicara soal Bangkok, ibukota Thailand , maka kita akan menemukan kesamaan dengan Kota Palembang, ibukota Sumatera Selatan. Ya, keduanya sama-sama dibelah sungai besar. Palembang dibelah oleh Sungai Musi, sedang Bangkok dibelah Chao Phraya. Walau memiliki banyak kesamaan, Palembang harus belajar banyak dari Bangkok dalam mengemas potensi wisata sungai yang di milikinya menjadi tujuan turis asing maupun lokal.
Nah, dalam kesempatan meliput ASEAN Summit ke 14 (IMTGT Summit) di Bangkok, saya bersama 7 wartawan cetak Palembang didampingi Kabag Humas Pemprov Sumsel Thontowi HE Permana, Staf Protokol Hero serta Daniel dan Merry dari Southern Tour & Travel, 26-28 Februari menjejaki sejumlah objek wisata air andalan negeri yang kini diperintah oleh Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit ini.
Chao Phraya kerap juga disebut King River karena panjangnya. Chao Phraya adalah sungai utama di Thailand dengan panjang sekitar 372 kilometer. Sungai Chao Phraya merupakan pertemuan dari empat sungai kecil Ping, Wang, Yom, dan Nan di daerah Nakhon Sawan yang berada di wilayah utara Thailand, dan bermuara di Teluk Thailand.
Sungai Chao Phraya berfungsi mulai untuk irigasi, pasar terapung, dan menjadi tulang punggung transportasi penduduk sekitar melalui kanal-kanal yang ada. Sungai ini menjadi sarana transportasi yang sangat vital sejak Kota Bangkok didirikan pada 1782. Denyut nadi kehidupan Bangkok ada di sungai itu.
Saat melihat Chao Phraya, suasana takjub langsung menerpa. Bagaimana tidak sungai yang sebetulnya tidak lebih lebar dari Sungai Musi itu, benar-benar tertata apik sebagai sebagai objek wisata andalan.



Tepian sungai Chao Phraya didam rapi, dan dipagari sejumlah bangunan megah serta gedung pencakar langit. Sepanjang mata melihat, tidak ada bangunan kumuh yang ada di pinggiran sungai. Semuanya bersih dan rapi. Untuk merasakan lebih dekat Chao Phraya , kami naik ke sebuah perahu wisata dan menyusuri sungai tersebut. Kesan lain yang kami tangkap adalah bersihnya Sungai Chao Phraya.
Wisatawan tak sekali pun mencium bau busuk di Chao Phraya atau kanal-kanalnya. Tidak ada sepotong sampah atau eceng gondok, yang di Sungai Musi menjadi suguhan lazim. Wajar saja, karena budaya hidup bersih sudah tertanam erat di dada warga tepian Chao Phraya.
Menurut Wodi, tour guide asli Bangkok yang fasih berbahasa Indonesia, warga tepian Chao Phraya sudah lama dibiasakan tak membuang sampah rumah tangga ke sungai.
“Sampah diletakkan di depan rumah, dan diambil oleh petugas yang khusus ditugaskan untuk itu. Selain itu, ada kapal yang setiap hari khusus disiagakan membersihkan sungai,’’ jelas Wodi. Satu catatan lagi, tidak ada wc “helikopter” yang nangkring di pinggir sungai seperti di Palembang. Sebab di Chao Phraya, rumah warga umumnya menghadap ke sungai. Tidak seperti di Palembang yang menjadikan sungai halaman belakang rumah mereka. Sungguh hal yang patut ditiru.
Karena bersihnya Sungai Chao Phraya, ikan-ikan dari berbagai jenis tampak jelas bebas berenang. Wargapun tidak tampak menangkapi ikan itu, bahkan menjadikannya salah satu objek wisata. Wisatawan dapat memberi makan ikan dengan roti yang dijual di perahu, dengan harga 20 bath satu bungkus. Apalagi ada pantangan menangkap ikan di depan kuil yang berjejer di pinggir Chao Phraya.



Keunggulan lain Chao Phraya, adalah menjadi sarana transportasi alternatif warga Bangkok. Bangkok selain dikenal dengan sky train dan subway-nya, juga sukses menjadikan bus air sebagai sarana transportasi alternatif. Di sepanjang Chao Phraya dibangun sejumlah dermaga bus air. Sehingga warga Bangkok yang hendak berpergian, lebih memilih naik bus air. Murah dan dijamin tak terjebak kemacetan.
Selain menikmati bersihnya Sungai Chao Phraya, di sepanjang sungai itu wisatawan juga dimanja dengan berbagai bangunan unik dan bersejarah. Ada Candi Budha seperti Temple of Dawn atau Wat Arun, Wat Mahathat yang merupakan pusat kesarjanaan Budha, dan Wat Kalayanam. (**)

Selasa, 10 Maret 2009

Uniknya ornamen Candi Wat Arun




Wat Arun Ratchwararam Temple adalah bangunan candi yang berdiri 1872. Sebuah Pagoda yang dibangun Raja Taksin dari Cina yang kemudian diperbesar raja ke 2 Thailand hingga memiliki ketinggian 66 meter. Wisatawan yang mendarat di dermaga, disambut ramah oleh para guide atau pedagang kaki lima yang umumnya warga sekitar. Mereka dipersilahkan masuk ke areal kuil yang letaknya agak tinggi dan dilingkupi pepohonan rindang.
Di dalam komplek itu, terdapat bangunan kuil dengan ornament unik dan amat cantik. Walau jika dibandingkan Borobudur atau Prambanan komplek Wat Arun lebih kecil, tapi penataan menjadi kawasan wisata tidak kalah. Di pagoda warna keperakan ini kita bisa menyaksikan piring-piring porselin ratusan tahun lalu yang ditempel ke dinding kuil.
Karena memiliki ketinggian 66 meter, untuk mencapai bangunan puncak wisatawan harus meniti tangga curam dengan kemiringan hampir 80 derajat. Hanya orang yang “nekad” saja yang mau naik ke atas. Karena saat sudah diatas, walau disuguhi pemandangan indah Chao Phraya , dijamin wisatawan akan takut turun.
Puas dan mandi keringat usai naik ke puncak Wat Arun, kami disuguhi beragam souvernir khas Wat Arun dan Bangkok yang dijual di semacam pasar kecil di samping kompleks candi Budha itu. Topi, gantungan kunci, kipas, barang-barang gerabah, dompet, selendang besar. pakaian sutra model koko, kaos, hingga batu-batu tasbih untuk muslim. Semuanya berkisar 10 bath hingga 1000 bath.
Soal harga tak perlu khawatir, karena disini harga lebih miring dan dijamin keasliannya. Berbeda dengan mall atau toko modern yang menyediakan barang-barang aspal (asli tapi palsu), Wat Arun mengetengahkan produk asli Thailand . Bagi wisatawan Indonesia yang tak mengantongi bath tak perlu khawatir, karena disini mata uang rupiah laku. Untuk 1 lusin kaos bermotif tulisan Bangkok , gajah atau Wat Arun dengan rupiah dihargai Rp 300 ribu. Tapi jika pakai bath, untuk 1000 bath dapat 14 potong kaos. Jika dihitung, harga itu relatif sama dengan di negeri sendiri.
Selain kemudahan yang diterima rupiah, satu lagi yang patut ditiru adalah kemampuan para pedagang melayani wisatawan. Mereka mampu membuat wisatawan yang pada awalnya hanya melihat-lihat, akhirnya membeli souvenir. Mereka lihai dalam taktik berhadapan dengan pelanggan. Sopan, sabar, dan benar-benar menjadikan pembeli adalah raja.



Nilai plus lainnya, umumnya pedagang disini agak fasih berbahasa Indonesia. Mereka akan dengan cepat mengali-ngali baht ke mata uang rupiah. Benar-benar seperti di Indonesia. Menurut Nhok Cun, warga Bangkok keturunan Cina, para pedagang dan pebisnis di Bangkok saat ini punya kewajiban belajar bahasa Indonesia.
“Karena wisatawan Indonesia sangat banyak ke sini. Sehingga kami berusaha belajar dan mengerti bahasa mereka,’’ kata Nhong yang mengaku sedang belajar bahasa Indonesia ini.
Saat hendak menyudahi kunjungan ke Wat Arun, kami mendapatkan surprise. Beberapa pedagang memajang piring antik bermotif Thai dengan foto kita di tengahnya. Foto itu diambil saat kita tiba kali pertama di dermaga Wat Arun. Satu piring harganya 200 baht. Yang ini boleh ambil boleh tidak. Tapi siapa sih yang tak mau mengambil foto close up sendiri yang sudah menempel di piring berhiaskan lambang Thailand ? Ini kan barang kenang-kenangan.
Melihat Wat Arun, kami teringat dengan objek wisata di Sungai Musi yang sekilas sama yakni Pulau Kemaro. Di pulau yang ada di Sungai Musi itu, juga ada vihara tua dan bangunan pagoda yang tak kalah cantiknya. Namun objek wisata itu baru menunjukkan gairahnya setahun sekali, saat peringatan Cap Go Me. Dengan penataan seperti Wat Arun, bukan tidak mungkin hal serupa dapat terwujud di Pulau Kemaro. Apalagi Pulau Kemaro punya nilai lebih dari Wat Arun, yakni berada di tengah-tengah sungai. (**)