Kamis, 20 Desember 2007

“Wisata” unjuk rasa di Malaysia


MALAYSIA sebagai jiran Indonesia, tak pelak saat ini menjadi salah satu tujuan wisata utama wisatawan asal Indonesia. Selain masih serumpun, Malaysia dinilai mampu menghadirkan jiwa pemandu wisata di dalam diri warganya. Bahkan ditengah unjuk rasa sekalipun, warga Malaysia tetap memposisikan wisatawan sebagai tamu. Sungguh keramahan tuan rumah yang patut ditiru.
Bicara soal Malaysia, pada 21-26 November 2007 lalu saya bersama 2 rekan jurnalis Palembang yakni Wiedarto dan Citra, kembali mendapat kesempatan menjejakkan kaki ke Malaysia. Bersama atlet polo air dari Akademi Akuatik Sekayu (ASA) yang hendak tryout dengan klub Malaysia, saya tiba di Kuala Lumpur. Karena penerbangan Air Asia termasuk “paket hemat”, maka rombongan Muba mendarat di low cost carrier terminal (LCCT). Walau low cost, tapi dari segi pengawasan tetap seketat terminal bandara internasional biasa.
Di negara ini, saya dan rombongan menginap di sebuah hotel megah, Radius International. Hotel berbintang ini, terletak di kawasan Bukit Bintang. Dari hotel, saya sudah bisa menikmati dua bangunan monumental dan menjadi landmark Kuala Lumpur, yakni Kuala Lumpur (KL) Tower dan Petronas Tower yang juga kerap disebut dengan Kuala Lumpur City Centre (KLCC).
Walau terlihat jelas menyembul dari balik gedung pencakar langit, namun sebetulnya letak KL Tower dan Petronas Tower lumayan jauh. KL Tower ada di kawasan Bukit Nanas agak jauh dari Bukit Bintang, sedang Petronas Tower hanya beberapa blok jauhnya. Kata orang jika tidak mengunjungi kedua landmark tersebut berarti belum ke Malaysia.
Bila berbicara soal KLCC, saya memiliki pengalaman yang tak mungkin bisa dilupakan. Niat hati mau foto-foto di objek wisata itu, Minggu (25/11) saya justru terjebak dalam bentrokan antara 10 ribu warga India dan ribuan polisi Malaysia. Nah, dalam peristiwa inilah, baru terlihat kesiapan warga Malaysia menerima wisatawan asing.
Awalnya saya tak tahu kalau di KLCC ada unjuk rasa. Bersama wartawan lain, saya berjalan kaki melintasi setidaknya 3 blok dari hotel. Rasa aneh mulai menyergap, saat melihat kerumunan orang-orang India. Dengan perasaan ingin tahu, Saya pun mendekati kerumunan orang India yang amat banyak jumlahnya.
Kerumunan itu tampak bergerak ke arah KLCC. Saya baru sadar itu unjuk rasa yang amat diharamkan pemerintah Malaysia, saat mendengar yel-yel dan nyanyian lelaki, wanita, tua, dan muda, yang juga ditingkahi dengan pengibaran bendera Malaysia.
Gatal ingin mengabadikan demo itu, saya pun mengeluarkan kamera digital dan mulai mendekati ke barisan terdepan. Selain saya, sejumlah turis bule melakukan hal yang sama. Para pengunjuk rasa yang aksinya menjadi objek wisata dadakan, tak tampak marah. Karena hitung-hitung aksinya diliput gratis.
Seorang ibu yang mengira saya wartawan –padahal memang demikian--, menjelaskan panjang lebar mengenai alasan mereka turun ke jalan. “Kami warga India selalu dijadikan warga kelas ketiga. Posisi top ekonomi dipegang orang Cina, sedang politik orang Melayu. Padahal kami juga warga negara Malaysia. Tapi aksi kami damai dan tidak akan merusak,’’ ujar ibu itu.
Seorang lelaki India lain, tampak sangat senang saat saya mengabadikan aksi unjuk rasa itu dengan kamera. “Bagus, ambil gambarnya. Masukkan ke situsmu di internet. Sebarkan ke seluruh dunia, bahwa di Malaysia ada ketidakadilan,’’ ujarnya.



Keadaan mulai kacau, saat ratusan Polis Diraja Malaysia menembakkan gas air mata, water cannon, plus pukulan rotan. Posisi saya dan pengunjuk rasa India terjepit, karena ternyata ratusan polisi sudah mengepung kawasan persimpangan Jalan Ampang, Jalan Tun Abdul Razak dan KLCC tersebut. Tak urung, gas air mata sempat mengenai wajah saya.
Dalam kondisi kacau karena merasakan mata pedih dan tenggorokan sakit terkena asap gas air mata, seorang warga India yang tahu saya adalah wisatawan mempersilahkan berjalan menuju arah hadangan polisi. “Silahkan jalan ke arah depan, tidak apa-apa. Aman kok, karena ini masalah kami dan polisi. Wisatawanan asing aman,’’ ujarnya. Walau masih ragu, saya pun berlari ke arah barikade polisi yang berada persisi di depan KLCC.
Melihat saya yang tidak berkulit hitam, polisi tahu kalau yang mendekat adalah turis. Dengan ramah walau tetap bernada tegas, mereka memberi saya jalan. “Ayo cepat dan hati-hati,’’ ujar mereka. Akhirnya saya bisa masuk KLCC dan baru bisa keluar setelah keadaan terkendali.
Belajar dari peristiwa itu, sektor wisata tampaknya secara langsung sudah menjadi darah daging bagi warga Malaysia. Bagaimana tidak, saat unjuk rasapun orang Malaysia tetap memposisikan wisatawan sebagai tamu yang harus diutamakan. Wah, sebuah keramahan yang patut kita ditiru. Tapi di sisi lain, saking getolnya berusaha menjadi tuan rumah dan objek wisata yang baik, Malaysia dengan cueknya “mencuri” seni Reog Ponorogo dan Lagu Rasa Sayange yang sejatinya milik bangsa Indonesia. Nah, yang itu tak patut kita tiru.
Puas “meliput” aksi demo, saya malam harinya menyempatkan diri berbelanja oleh-oleh khas Malaysia di Petaling Street yang terletak di China Town. Di ruas jalan bak Lorong Basah ini, dapat ditemukan berbagai macam cinderahati, istilah orang Malaysia untuk cinderamata. Mulai dari kaos bertuliskan Malaysia, gantungan kunci, korek api, hingga miniatur landmark Malaysia.
Harganya murah. Jika ingin lebih murah, cukup datang ke pasar malam yang ada di Bukit Bintang, dekat Radius International Hotel. Memang tidak sebanyak di Petaling Street, tapi kios dadakan di pasar malam itu lengkap menjual cinderamata Malaysia dengan harga lebih miring. “Ya, waktunya berburu cinderamata untuk menghabiskan ringgit,’’ batin saya. (**)

Sabtu, 15 Desember 2007

Dari Suvarnabhumi ke Kasetsart University



KUNJUNGAN ke Bangkok, Thailand, bersama rombongan atlet polo air Akademi Akuatik Sekayu (AAS), 21-26 November lalu, merupakan kunjungan kali kedua saya ke negeri yang diperintah oleh Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit itu. Soalnya akhir 2005 lalu, saya pernah berkunjung ke Bangkok. Banyak sekali perubahan di Bangkok yang mencengangkan saya. Mulai dari bandaranya yang kian “wah”, diterimanya Rupiah di salah satu bank Thailand, hingga sangat lengkapnya fasilitas olahraga di Kasetsart University. Nah, berikut catatan perjalanan saya di negeri Gajah Putih tersebut.
Dengan pesawat Airbus A320 maskapai Air Asia, saya bersama 2 rekan wartawan Palembang dan rombongan ASS tiba di Bangkok. Saat berkunjung ke Thailand 2 tahun lalu, saya mendarat di bandara internasional Don Muang. Kali ini, Saya disambut dengan kemegahan bandara baru Thailand, Suvarnabhumi.
Suvarnabhumi dibaca dalam Bahasa Thai diucapkan Suvarna-poom. Suvarnabhumi bagi telinga kita sangat akrab, karena dekat dengan julukan Pulau Sumatera yakni Swarna Dwipa. Keduanya sama-sama punya arti pulau/bumi emas.
Bandara internasional Suvarnabhumi sangat megah. Sebuah megaproyek yang digagas oleh Perdana Menteri Thailand terdahulu, Thaksin Sinawatra, benar-benar hebat. Bandara yang informasinya mampu menampung 45 juta penumpang setahun dan diproyeksikan dalam beberapa tahun nanti kapasitasnya membengkak menjadi 58 juta orang penumpang, adalah bandara supersibuk dan lengkap dengan beragam fasilitas yang amat wah.
Letak Suvarnabhumi sekitar 28 km di Timur Bangkok. Sedang Don Muang, airport lama, letaknya 24 km di Utara Bangkok. Bandara Suvarnabhumi resminya dibuka 28 September 2006 setelah 45 tahun menunggu. Konstruksinya unik tapi simpel, karena didominasi bahan panel aluminium dan kaca mulai lantai dasar hingga lantai kedua. Arsitekturnya futuristic, walau sentuhan khas Thailand masih nampak kental.
Di setiap sudut bandara, pasti ada ornamen khas Thailand. Bahkan di beberapa bagian, patung raksasa khas Thai nampak kian mempertegas tingginya kekayaan budaya negara tersebut. Setiap bagian di bandara ini dihubungkan dengan eskalator dan lift, yang kembali didominasi kaca dan kaca. Saya kian berdecak kagum, saat melihat ruang kedatangan yang amat megah. Belum lagi ruangan utama bandara Suvarnabhumi yang sangat luas dan lengkap.
“Wah, bandara Soekarno-Hatta dan SMB II yang sudah begitu megah, masih kalah bila dibandingkan bandara Suvarnabhumi,’’ batin saya. Puas menikmati bandara yang katanya dibangun dengan dana 150 miliar Bath tersebut, saya dan rombongan naik bus menuju hotel yang ada di agak pinggir Kota Bangkok. Memang rombongan sengaja memilih hotel tersebut, karena dekat dengan Kasetsart University, tempat klub polo air Chulabhron yang akan dijajal tim polo air Muba.
Setelah istirahat, esok sorenya saya dan rombongan bergerak ke Kasetsart University. Sama saat tiba di bandara Suvarnabhumi, saya tak putus-putus berdecak kagum saat masuk ke kompleks Kasetsart University. Bagaimana tidak, di dalam kompleks kampus tersebut saya melihat lengkapnya beragam sarana olahraga. Mulai dari stadion sepakbola, soft ball, atletik, renang, hingga berbagai hall yang dipenuhi orang berolahraga.



Kondisi serupa juga tampak saat masuk ke dalam kolam renang Chulabhorn. Kolam yang menjadi venues cabang akuatik ASIAN Games ke 8 tahun 1978 tersebut, memiliki 5 buah kolam renang plus 1 menara loncat indah. Dari 5 buah kolam, 2 kolam renang yang dipayungi atap. Semakin malam, kelima kolam renang itu dipadati orang beragam usia, mulai anak-anak hingga dewasa. Tak hanya sarana olahraga akuatik, di komplek kolam renang itu juga ada kantin yang amat lengkap isinya. Sehingga orang yang lelah berenang, dapat langsung melepas letih di dalam kantin.
“Perhatian pemerintah kami terhadap pembinaan olahraga sangat besar,’’ ujar pelatih klub polo air Chulabhorn Aquatic Club, Bangkok, Pinate Perkasame. Apa yang dikatakan pimpinan di salah satu bank swasta di Thailand ini sangat beralasan, jika melihat banyaknya sarana olahraga di negara kerajaan yang bulan ini sedang menggelar perhelatan SEA Games.
Satu lagi hal menarik yang saya dapatkan di Bangkok. Saat ini mata uang Indonesia sudah diterima salah satu bank Thailand, Siam Commercial Bank. Dua tahun lalu, saya hampir “mati kelaparan” karena mata uang Rupiah tak diterima saat hendak ditukarkan dengan Bath. Tapi perbandingan tukarnya sangat jauh. Dari kurs normal 1 Bath untuk Rp 300, bank itu menetapkan Rp 400 untuk 1 Bath.
Walau agak kesal karena uang di kocek yang kian menipis, saya terpaksa mau menerima jumlah tersebut. “Daripada kelaparan lagi,’’ ujar saya dalam hati. Nah, perkembangan Bangkok lainnya sejak 2 tahun lalu, yakni kian banyak jalan tol, fly over, hingga under pass yang bertebaran di setiap sudut kota. Bahkan menurut seorang sopir lokal, Bangkok juga kerap disebut kota seribu jembatan. Mungkin karena saking banyaknya jembatan di kota itu.
Karakter penduduknya tetap sama. Selalu berusaha bersikap ramah walau tidak mengerti dengan Bahasa Inggris, apalagi Bahasa Indonesia. Sebagai catatan warga menengah ke atas di Thailand umumnya bisa berbahasa Inggris. Tapi tidak dengan warga menengah ke bawah. Karena bagi mereka, Bahasa Thailand adalah segala-galanya. Bahkan demi menunjukkan jati diri bangsa, papan reklame dan nama toko di semua sudut kota ditulis dengan huruf Thai besar-besar. Kalaupun ada aksara latin, ukurannya sangat kecil dan sedikit jumlahnya. (**)