Kamis, 20 Desember 2007
“Wisata” unjuk rasa di Malaysia
MALAYSIA sebagai jiran Indonesia, tak pelak saat ini menjadi salah satu tujuan wisata utama wisatawan asal Indonesia. Selain masih serumpun, Malaysia dinilai mampu menghadirkan jiwa pemandu wisata di dalam diri warganya. Bahkan ditengah unjuk rasa sekalipun, warga Malaysia tetap memposisikan wisatawan sebagai tamu. Sungguh keramahan tuan rumah yang patut ditiru.
Bicara soal Malaysia, pada 21-26 November 2007 lalu saya bersama 2 rekan jurnalis Palembang yakni Wiedarto dan Citra, kembali mendapat kesempatan menjejakkan kaki ke Malaysia. Bersama atlet polo air dari Akademi Akuatik Sekayu (ASA) yang hendak tryout dengan klub Malaysia, saya tiba di Kuala Lumpur. Karena penerbangan Air Asia termasuk “paket hemat”, maka rombongan Muba mendarat di low cost carrier terminal (LCCT). Walau low cost, tapi dari segi pengawasan tetap seketat terminal bandara internasional biasa.
Di negara ini, saya dan rombongan menginap di sebuah hotel megah, Radius International. Hotel berbintang ini, terletak di kawasan Bukit Bintang. Dari hotel, saya sudah bisa menikmati dua bangunan monumental dan menjadi landmark Kuala Lumpur, yakni Kuala Lumpur (KL) Tower dan Petronas Tower yang juga kerap disebut dengan Kuala Lumpur City Centre (KLCC).
Walau terlihat jelas menyembul dari balik gedung pencakar langit, namun sebetulnya letak KL Tower dan Petronas Tower lumayan jauh. KL Tower ada di kawasan Bukit Nanas agak jauh dari Bukit Bintang, sedang Petronas Tower hanya beberapa blok jauhnya. Kata orang jika tidak mengunjungi kedua landmark tersebut berarti belum ke Malaysia.
Bila berbicara soal KLCC, saya memiliki pengalaman yang tak mungkin bisa dilupakan. Niat hati mau foto-foto di objek wisata itu, Minggu (25/11) saya justru terjebak dalam bentrokan antara 10 ribu warga India dan ribuan polisi Malaysia. Nah, dalam peristiwa inilah, baru terlihat kesiapan warga Malaysia menerima wisatawan asing.
Awalnya saya tak tahu kalau di KLCC ada unjuk rasa. Bersama wartawan lain, saya berjalan kaki melintasi setidaknya 3 blok dari hotel. Rasa aneh mulai menyergap, saat melihat kerumunan orang-orang India. Dengan perasaan ingin tahu, Saya pun mendekati kerumunan orang India yang amat banyak jumlahnya.
Kerumunan itu tampak bergerak ke arah KLCC. Saya baru sadar itu unjuk rasa yang amat diharamkan pemerintah Malaysia, saat mendengar yel-yel dan nyanyian lelaki, wanita, tua, dan muda, yang juga ditingkahi dengan pengibaran bendera Malaysia.
Gatal ingin mengabadikan demo itu, saya pun mengeluarkan kamera digital dan mulai mendekati ke barisan terdepan. Selain saya, sejumlah turis bule melakukan hal yang sama. Para pengunjuk rasa yang aksinya menjadi objek wisata dadakan, tak tampak marah. Karena hitung-hitung aksinya diliput gratis.
Seorang ibu yang mengira saya wartawan –padahal memang demikian--, menjelaskan panjang lebar mengenai alasan mereka turun ke jalan. “Kami warga India selalu dijadikan warga kelas ketiga. Posisi top ekonomi dipegang orang Cina, sedang politik orang Melayu. Padahal kami juga warga negara Malaysia. Tapi aksi kami damai dan tidak akan merusak,’’ ujar ibu itu.
Seorang lelaki India lain, tampak sangat senang saat saya mengabadikan aksi unjuk rasa itu dengan kamera. “Bagus, ambil gambarnya. Masukkan ke situsmu di internet. Sebarkan ke seluruh dunia, bahwa di Malaysia ada ketidakadilan,’’ ujarnya.
Keadaan mulai kacau, saat ratusan Polis Diraja Malaysia menembakkan gas air mata, water cannon, plus pukulan rotan. Posisi saya dan pengunjuk rasa India terjepit, karena ternyata ratusan polisi sudah mengepung kawasan persimpangan Jalan Ampang, Jalan Tun Abdul Razak dan KLCC tersebut. Tak urung, gas air mata sempat mengenai wajah saya.
Dalam kondisi kacau karena merasakan mata pedih dan tenggorokan sakit terkena asap gas air mata, seorang warga India yang tahu saya adalah wisatawan mempersilahkan berjalan menuju arah hadangan polisi. “Silahkan jalan ke arah depan, tidak apa-apa. Aman kok, karena ini masalah kami dan polisi. Wisatawanan asing aman,’’ ujarnya. Walau masih ragu, saya pun berlari ke arah barikade polisi yang berada persisi di depan KLCC.
Melihat saya yang tidak berkulit hitam, polisi tahu kalau yang mendekat adalah turis. Dengan ramah walau tetap bernada tegas, mereka memberi saya jalan. “Ayo cepat dan hati-hati,’’ ujar mereka. Akhirnya saya bisa masuk KLCC dan baru bisa keluar setelah keadaan terkendali.
Belajar dari peristiwa itu, sektor wisata tampaknya secara langsung sudah menjadi darah daging bagi warga Malaysia. Bagaimana tidak, saat unjuk rasapun orang Malaysia tetap memposisikan wisatawan sebagai tamu yang harus diutamakan. Wah, sebuah keramahan yang patut kita ditiru. Tapi di sisi lain, saking getolnya berusaha menjadi tuan rumah dan objek wisata yang baik, Malaysia dengan cueknya “mencuri” seni Reog Ponorogo dan Lagu Rasa Sayange yang sejatinya milik bangsa Indonesia. Nah, yang itu tak patut kita tiru.
Puas “meliput” aksi demo, saya malam harinya menyempatkan diri berbelanja oleh-oleh khas Malaysia di Petaling Street yang terletak di China Town. Di ruas jalan bak Lorong Basah ini, dapat ditemukan berbagai macam cinderahati, istilah orang Malaysia untuk cinderamata. Mulai dari kaos bertuliskan Malaysia, gantungan kunci, korek api, hingga miniatur landmark Malaysia.
Harganya murah. Jika ingin lebih murah, cukup datang ke pasar malam yang ada di Bukit Bintang, dekat Radius International Hotel. Memang tidak sebanyak di Petaling Street, tapi kios dadakan di pasar malam itu lengkap menjual cinderamata Malaysia dengan harga lebih miring. “Ya, waktunya berburu cinderamata untuk menghabiskan ringgit,’’ batin saya. (**)
Sabtu, 15 Desember 2007
Dari Suvarnabhumi ke Kasetsart University
KUNJUNGAN ke Bangkok, Thailand, bersama rombongan atlet polo air Akademi Akuatik Sekayu (AAS), 21-26 November lalu, merupakan kunjungan kali kedua saya ke negeri yang diperintah oleh Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit itu. Soalnya akhir 2005 lalu, saya pernah berkunjung ke Bangkok. Banyak sekali perubahan di Bangkok yang mencengangkan saya. Mulai dari bandaranya yang kian “wah”, diterimanya Rupiah di salah satu bank Thailand, hingga sangat lengkapnya fasilitas olahraga di Kasetsart University. Nah, berikut catatan perjalanan saya di negeri Gajah Putih tersebut.
Dengan pesawat Airbus A320 maskapai Air Asia, saya bersama 2 rekan wartawan Palembang dan rombongan ASS tiba di Bangkok. Saat berkunjung ke Thailand 2 tahun lalu, saya mendarat di bandara internasional Don Muang. Kali ini, Saya disambut dengan kemegahan bandara baru Thailand, Suvarnabhumi.
Suvarnabhumi dibaca dalam Bahasa Thai diucapkan Suvarna-poom. Suvarnabhumi bagi telinga kita sangat akrab, karena dekat dengan julukan Pulau Sumatera yakni Swarna Dwipa. Keduanya sama-sama punya arti pulau/bumi emas.
Bandara internasional Suvarnabhumi sangat megah. Sebuah megaproyek yang digagas oleh Perdana Menteri Thailand terdahulu, Thaksin Sinawatra, benar-benar hebat. Bandara yang informasinya mampu menampung 45 juta penumpang setahun dan diproyeksikan dalam beberapa tahun nanti kapasitasnya membengkak menjadi 58 juta orang penumpang, adalah bandara supersibuk dan lengkap dengan beragam fasilitas yang amat wah.
Letak Suvarnabhumi sekitar 28 km di Timur Bangkok. Sedang Don Muang, airport lama, letaknya 24 km di Utara Bangkok. Bandara Suvarnabhumi resminya dibuka 28 September 2006 setelah 45 tahun menunggu. Konstruksinya unik tapi simpel, karena didominasi bahan panel aluminium dan kaca mulai lantai dasar hingga lantai kedua. Arsitekturnya futuristic, walau sentuhan khas Thailand masih nampak kental.
Di setiap sudut bandara, pasti ada ornamen khas Thailand. Bahkan di beberapa bagian, patung raksasa khas Thai nampak kian mempertegas tingginya kekayaan budaya negara tersebut. Setiap bagian di bandara ini dihubungkan dengan eskalator dan lift, yang kembali didominasi kaca dan kaca. Saya kian berdecak kagum, saat melihat ruang kedatangan yang amat megah. Belum lagi ruangan utama bandara Suvarnabhumi yang sangat luas dan lengkap.
“Wah, bandara Soekarno-Hatta dan SMB II yang sudah begitu megah, masih kalah bila dibandingkan bandara Suvarnabhumi,’’ batin saya. Puas menikmati bandara yang katanya dibangun dengan dana 150 miliar Bath tersebut, saya dan rombongan naik bus menuju hotel yang ada di agak pinggir Kota Bangkok. Memang rombongan sengaja memilih hotel tersebut, karena dekat dengan Kasetsart University, tempat klub polo air Chulabhron yang akan dijajal tim polo air Muba.
Setelah istirahat, esok sorenya saya dan rombongan bergerak ke Kasetsart University. Sama saat tiba di bandara Suvarnabhumi, saya tak putus-putus berdecak kagum saat masuk ke kompleks Kasetsart University. Bagaimana tidak, di dalam kompleks kampus tersebut saya melihat lengkapnya beragam sarana olahraga. Mulai dari stadion sepakbola, soft ball, atletik, renang, hingga berbagai hall yang dipenuhi orang berolahraga.
Kondisi serupa juga tampak saat masuk ke dalam kolam renang Chulabhorn. Kolam yang menjadi venues cabang akuatik ASIAN Games ke 8 tahun 1978 tersebut, memiliki 5 buah kolam renang plus 1 menara loncat indah. Dari 5 buah kolam, 2 kolam renang yang dipayungi atap. Semakin malam, kelima kolam renang itu dipadati orang beragam usia, mulai anak-anak hingga dewasa. Tak hanya sarana olahraga akuatik, di komplek kolam renang itu juga ada kantin yang amat lengkap isinya. Sehingga orang yang lelah berenang, dapat langsung melepas letih di dalam kantin.
“Perhatian pemerintah kami terhadap pembinaan olahraga sangat besar,’’ ujar pelatih klub polo air Chulabhorn Aquatic Club, Bangkok, Pinate Perkasame. Apa yang dikatakan pimpinan di salah satu bank swasta di Thailand ini sangat beralasan, jika melihat banyaknya sarana olahraga di negara kerajaan yang bulan ini sedang menggelar perhelatan SEA Games.
Satu lagi hal menarik yang saya dapatkan di Bangkok. Saat ini mata uang Indonesia sudah diterima salah satu bank Thailand, Siam Commercial Bank. Dua tahun lalu, saya hampir “mati kelaparan” karena mata uang Rupiah tak diterima saat hendak ditukarkan dengan Bath. Tapi perbandingan tukarnya sangat jauh. Dari kurs normal 1 Bath untuk Rp 300, bank itu menetapkan Rp 400 untuk 1 Bath.
Walau agak kesal karena uang di kocek yang kian menipis, saya terpaksa mau menerima jumlah tersebut. “Daripada kelaparan lagi,’’ ujar saya dalam hati. Nah, perkembangan Bangkok lainnya sejak 2 tahun lalu, yakni kian banyak jalan tol, fly over, hingga under pass yang bertebaran di setiap sudut kota. Bahkan menurut seorang sopir lokal, Bangkok juga kerap disebut kota seribu jembatan. Mungkin karena saking banyaknya jembatan di kota itu.
Karakter penduduknya tetap sama. Selalu berusaha bersikap ramah walau tidak mengerti dengan Bahasa Inggris, apalagi Bahasa Indonesia. Sebagai catatan warga menengah ke atas di Thailand umumnya bisa berbahasa Inggris. Tapi tidak dengan warga menengah ke bawah. Karena bagi mereka, Bahasa Thailand adalah segala-galanya. Bahkan demi menunjukkan jati diri bangsa, papan reklame dan nama toko di semua sudut kota ditulis dengan huruf Thai besar-besar. Kalaupun ada aksara latin, ukurannya sangat kecil dan sedikit jumlahnya. (**)
Senin, 30 Juli 2007
Madinah, kota seribu cahaya
Lepas Isya, (6/7), saya dan 9 rekan wartawan media cetak dan elektronik Palembang yang mengunjungi jazirah Arab pada 5-12 Juli lalu, tiba di Madinah dan langsung menuju Hotel Dar Es Salam, hotel lumayan megah yang hanya berjarak sekitar 500 meter dari Masjid Nabawi. Suasana Kota Madinah benar-benar membuat kami takjub, karena mirip Singapura. Hilang semua bayangan kota kumuh di padang pasir, terhapus pemandangan hotel megah yang mengelilingi Masjid Nabawi.
Masjid Nabawi sangat cantik di malam hari, karena nampak bermandikan cahaya lampu. Belum lagi marmer putih yang menutupi seluruh halaman luasnya. Apalagi kubahnya yang berwarna hijau, semakin membuat kami berdecak kagum.
Di masjid ini kami memperbanyak ibadah dan berziarah ke makam Rasulullah serta sahabat di Raudha. Tak lupa kami menikmati air zam-zam gratis sepuasnya, dari termos-termos besar yang ada di dalam Masjid Nabawi.
Berada di Madinah serasa kurang jika tidak mengunjungi sejumlah situs Islam. Dipandu Ustadz Muhsin, kami mengunjungi berbagai situs Islam, dimulai dari Masjid Quba, masjid yang dibuat pertama kali Nabi Muhammad saat hijrah dari Mekkah ke Madinah. Setelah sholat sunat 2 rekaat di Masjid Quba, kami menuju Jabal Uhud.
Konon gunung yang dipuncaknya ada istana Raja Arab itu adalah satu-satunya gunung yang bakal masuk surga. Pasalnya, menurut Ustadz Mushin, Jabal Uhud yang berwarna merah ini mempunyai arti penting bagi Nabi Muhammad. Karena di medan
perang Uhud inilah, gugur paman tercinta Nabi Muhammad yakni Hamzah bin Abdul Muthalib alias “Singa Allah”. Uniknya, Jabal Uhud yang berwarna merah Nampak tak menyatu dengan gunung lain yang ada di dekatnya.
Tak jauh dari Jabal Uhud berdiri Bukit Pemanah. Kenapa disebut Bukit Pemanah? Karena ditempat ini dalam perang Uhud, pasukan pemanah muslim tergiur harta yang ditinggalkan pasukan kafir Kuraisy hingga turun bukit. Akibatnya pasukan muslim terpecah, hingga kalah dalam perang Uhud. Tour dilanjutkan ke Masjid Qiblatain. Di masjid ini Nabi Muhammad mendapat perintah Allah memindahkan kiblat 180 derajat dari Baitul Maqdis di Yarusalem ke Masjidil Haram di Mekkah Al Mukaromah.
Kami meneruskan kunjungan ke medan perang Khandaq. Di tempat ini dulu ada 7 masjid yang disatukan parit (khandaq) menjadi basis pertahanan Nabi Muhammad dan sahabat dalam perang Khandag. Masjid tersebut diantaranya Masjid Al Fattah, Salman Al Farisi, Syaidina Umar, Syaidina Usman, Syaidina Ali, dan Masjid Fatimah.
Tapi kini hanya tinggal beberapa masjid yang ada, karena sebagian sudah diratakan untuk pelebaran jalan. Dalam pertempuran yang berlangsung 3 hari 3 malam itu, 5 ribu kaum muslimin mampu mengalahkan 10 ribu kaum kafir Kuraisy. City tour Madinah ditutup dengan kunjungan ke perkebunan kurma.
Di Medinah kami berbelanja souvenir yang dijual di sekitar Hotel Dar Es Salam. Namun karena harganya agak mahal dan kurang beragam, kami hanya membeli sedikit dan baru akan berbelanja habis-habisan di Mekkah, yang katanya lebih beragam dan miring harganya.
Satu kebiasaan buruk pedagang Madinah, yakni tangan mereka yang agak “nakal”. Mungkin ada baiknya wisatawan wanita tak belanja sendirian, paling tidak dikawal teman jika tidak ada suami atau saudara. Namun pada umumnya, pedagang Madinah ramah-ramah kepada pembeli. (**)
Minggu, 29 Juli 2007
Menapaki jejak sejarah di tanah Mekkah
Minggu, 8 Juli, kami meninggalkan Madinah menuju Mekkah. Dengan berpakaian ihram, kami menuju Bir Ali untuk mengambil miqat (niat umrah) dan shalat sunat 2 rekaat. Jelang dini hari, kami tiba di Mekkah dan disambut Ustadz Hadi, pembimbing umrah dari Biro Perjalanan Attarimi. Usai makam malam di Hotel Dar Bilal yang jaraknya hanya 250 meter dari Masjidil Haram, kami melakukan ibadah umrah di masjid yang buka 24 jam tersebut.
Setelah melaksanakan rukun umrah, yakni tawaf (keliling Ka’bah), sholat sunat tawaf 2 rekaat, sai’ (berlari kecil) antara Bukit Safa dan Marwah, serta diakhiri tahalul (mencukur rambut minimal 3 helai), sekitar pukul 03.00 dinihari kami pun pulang ke hotel untuk beristirahat.
Hari-hari selanjutnya diisi memperbanyak ibadah di Masjidil Haram, dan melaksanakan umrah sunah dengan mengambil miqat di Tan’im dan Ja’ronah. Selain ibadah, acara juga diselingi berbelanja oleh-oleh di Pasar Seng. Disebut Pasar Seng karena pasar yang mirip Pasar 16 Ilir di Palembang itu dulu dipagari dengan seng. Pasar ini amat dekat dengan Masjidil Haram. Beragam barang yang harganya miring, seperti songkok, gamis, surban, tasbih hingga kurma Ajwa (nabi) dan kacang Arab, bisa didapat di pasar ini.
Bahkan ada toko yang menghargai semua jenis dagangannya SR 2 (SR 1 sama dengan Rp 2600). Soal bahasa jangan khawatir, karena hampir seluruh pedagang bisa berbahasa Indonesia, walau belepotan. Berbeda dengan dengan Madinah, pedagang di Mekkah agak kurang ramah kepada pembeli. Mereka ketus jika dagangannya ditawar, apalagi sampai tidak jadi membeli.
Suasana Kota Mekkah agak lebih semrawut dan jorok bila dibanding Madinah yang tertata rapi. Lalu lintas kacau balau, pedagang kaki lima yang didominasi wanita berkulit hitam seenaknya berdagang di jalan. Tak ubahnya di Palembang, aksi langkah seribu PKL Arab saatmelihat polisi pun kerap dijumpai di Mekkah. “Mungkin sifat Jahiliyah dulu masih tersisa pada diri mereka,’’ ujar ustadz Hadi. Seperti di Madinah, kami di Mekah juga melakukan city tour. Dipandu Awad, warga Indonesia keturunan Arab, kami menuju Jabal Sur, tempat Nabi Muhammad dan Abubakar bersembunyi dan diselamatkan burung dara serta laba-laba dari kejaran kafir Kuraisy. Di tempat ini banyak pedagang menjual cinderamata khas Mekkah, namun made in China.
Tour dilanjutkan ke Padang Arafah. Arafah tidak lagi padang pasir, karena sudah dilapisi conblock. Di Arafah kami melihat banyak mahtab (tenda penginapan haji) tahan api. Mahtap tahan api itu dibuat Kerajaan Saudi Arabia, pasca kebakaran besar pada 1997. Menurut Awad, rencana beberapa tahun ke depan Saudi Arabia akan mengganti mahtab tenda dengan hotel.
“Setiap tahun jumlah jemaah haji selalu bertambah. Tapi uniknya, padang Arafah selalu mampu menampung jemaah haji yang jumlahnya berlipat-lipat. Allah Maha Besar.!!,’’ ujar Awad. Masih di kawasan Arafah, tampak Jabal Rohmah, bukit cadas yang diyakini mustajab untuk berdoa meminta jodoh. Konon dahulu Jabal Rohmah adalah tempat bertemunya Adam dan Hawa, setelah dipisahkan Allah SWT dari surga.
Di puncak Jabal Rohmah ada semacam monumen, yang dindingnya penuh tulisan nama. Kami membaca banyak nama-nama Indonesia di monumen itu. Mungkin karena dinilai bisa merusak kerapian dan nilai Jabal Rohmah, maka Kerajaan Saudi Arabia secara rutin mengecat monumen itu hingga bersih. Namun, monumen itu akan kembali penuh dengan goresan nama.
Turun dari Jabal Rohmah, kami mencoba naik unta dan motor khusus padang pasir. Sewanya beragam, mulai dari SR 5 hingga SR 10. Puas menikmati suasana Jabal Rohmah dan Padang Arafah, kami menuju ke terowongan Mina.
Di terowongan inilah beberapa tahun lalu, ratusan jemaah haji asal Indonesia mati syahid terinjak-injak. Kala itu terowongan Mina masih satu jalur. Karena peristiwa itulah Kerajaan Saudi Arabia membuat terowongan baru, sehingga keluar masuk jemaah haji dapat melalui 2 jalur.
Diakhir city tour di Mekkah, kami sempat melintas di Bukit Hira, tempat Goa Hira berada. Goa dimana Nabi Muhammad SAW menerima wahyu Allah pertama kali itu berjarak 6 km dari Mekkah. Karena Goa Hira ada dibalik Bukit Hira, maka tidak bisa dilihat dari kejauhan. Menurut Awad, orang yang hendak ke Goa Hira, harus menyediakan waktu paling tidak 3 hari.
Esoknya, kami meninggalkan Mekkah menuju Jeddah untuk pulang ke Tanah Air. Perjalanan memakan waktu 1 jam lebih. Di kota pantai ini, kami mengunjungi pusat perbelanjaan yang menjadi idola orang Indonesia, karena harganya lumayan miring. Parfum merek terkenal di Indonesia yang harganya Rp 800 ribu, di Jeddah bisa didapat dengan Rp 240 ribu saja.
Puas menghabiskan Real yang tersisa, kami mampir ke Laut Merah yang terkenal dengan kisah Nabi Musa membelah laut saat memimpin Bani Israil hijrah menghindari kejaran Firaun.
Selain pantai yang berpasir bersih, Laut Merah juga terkenal dengan masjid terapungnya. Masjid itu dibangun persis di bibir pantai, dengan tiang-tiang pancang yang menghujam ke dasar pantai. Jika air laut pasang, maka masjid itu seperti terapung. Sayang karena laut lagi surut, masjid itu tak Nampak terapung. Kecantikan Jeddah dan Laut Merah justru terlihat di malam hari karena mandi cahaya lampu. Kami
sempat pula menikmati bangunan-bangunan megah di seputaran Kota Jeddah.
Mulai Istana Raja Fadh hingga komplek Kedutaan Besar Amerika Serikat yang dibangun di bawah tanah. Menurut Awad, AS membangun Kedubesnya beberapa tingkat ke bawah tanah dan membiarkan bagian atasnya sebagai tanah lapang karena faktor keamanan. Karena faktor itulah, jalan bagian depan Kedubes AS pun dibagi 2, dan dipasangi kawat berduri. Mungkin takut serangan teroris. Puas berkeliling Jeddah, kami menuju Bandara King Abdul Aziz.
Sekitar pukul 16.30 waktu Jeddah, kami bertolak ke Sana’a dengan Yemenia dan transit selama beberapa jam di kota itu. Setelah terbang via Dubai selama 2,5 jam, kami melanjutkan perjalanan nonstop ke Jakarta selama 8,5 jam. Tepat pukul 13.30
WIB, kami mendarat di Tanah Air. Di hati selain kenangan wisata rohani yang takmungkin dilupakan, juga keinginan untuk kembali ke tanah para nabi suatu saat nanti. (**)
Sabtu, 28 Juli 2007
Sana’a, kota diantara gunung-gunung cadas
JAZIRAH Arab sejak dulu dikenal sebagai tanahnya para nabi. Bagaimana tidak, banyak nabi Allah SWT yang berasal dari kawasan itu. Kisah-kisah dan tempat yang berkaitan dengan perjuangan para nabi pun banyak ditemui di Jazirah Arab. Nah, saya beserta 9 rekan wartawan media cetak dan elektronik Palembang pada 5 hingga 12 Juli 2007 lalu berkesempatan menapaki jejak kejayaan Islam, khususnya di sejumlah kota Jazirah Arab, yakni Sana’a (Yaman), Jeddah, Mekkah, dan Madinah (Saudi Arabia). Berikut catatan singkat saya saat menikmati Kota Sana’a, Yaman.
Wisata rohani ke tanah para nabi dimulai Kamis, 5 Juli, pukul 07.45 WIB, saat pesawat Garuda membawa saya dan rombongan meninggalkan Bandara SMB II menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta, Jakarta. Perjalanan kemudian diteruskan dengan pesawat Airbus Yaman Air (Yemenia). Rute penerbangan cukup panjang, yakni Jakarta, Kuala Lumpur (Malaysia), Dubai (Uni Emirat Arab) dan Sana’a.
Setelah menempuh penerbangan melelahkan selama 12 jam lebih, termasuk transit masing-masing 1 jam di Kuala Lumpur dan Dubai, Jumat (6/7) sekitar pukul 03.00 waktu Sana’a (waktu Sana’a lebih lambat 4 jam dari WIB) saya tiba di bandara internasional Sana’a.
Walau internasional, namun bandara Sana’a kalah keren jika dibandingkan Bandara SMB II, baik dari kebersihan maupun kemegahan bangunannya. Bahkan kalau boleh dibilang, bandara Sana’a agak sedikit jorok. Dari bandara Sana’a, kami diinapkan di Hotel Al Musyafir yang ada di pusat Kota Sana’a. Soalnya pesawat ke Jeddah baru terbang
esok siang.
Dalam perjalanan menuju hotel, saya menemui keunikan budaya Yaman. Bus Palembang Pos berpapasan dengan konvoi mobil dengan suara klakson memekakkan telinga. Menurut sopir bus, konvoi yang mirip aksi penggila sepakbola itu rombongan pengantin Sana’a.
Masih diliputi rasa kagum, saya dan rombongan tiba di Hotel Al Musyafir yang juga kantor perwakilan Yaman Air di Sana’a. Setelah beristirahat, sambil mengisi waktu menunggu pesawat ke Jeddah, kami sempat mengelilingi Kota Sana’a yang bersuhu lumayan dingin.
Wajar saja dingin, karena kota ini ada di daerah pegunungan. Bahkan banyak bangunan di Sana’a, yang dipahat di gunung-gunung cadas, termasuk Hotel Al Musyafir tempat kami menginap.
Di Sana’a, suasana “perang saudara” yang terjadi belasan tahun lalu masih terasa. Kawasan Kota Sana’a yang dikelilingi bukit cadas, mirip dengan suasana Jalur Gaza di Palestina. Walau
geliat pembangunan, nampak terasa disana-sini. Satu lagi peninggalan masa konflik, yakni pasukan keamanan Yaman masih nampak menenteng senjata AK-47. Konon saat masih terbelah menjadi Yaman Selatan dan Utara, AK-47 dan sejenisnya dijual bebas di pinggir jalan oleh pedagang kaki lima.
Di setiap sudut kota Sana’a, foto orang kuat Yaman, Presiden DR Ali Alfallah Saleh Nampak mejeng, termasuk di lobi Hotel Al Musyafir. Pamor Ali Alfallah Saleh bisa disejajarkan 3 orang kuat di Asia, yakni Soeharto dari Indonesia, Saddam Husein dari Irak dan Kolonel Muammar Khadafi dari Libya.
Satu lagi budaya unik lelaki Yaman, yang mirip wong Plembang. Setiap lelaki Yaman selalu membawa Jambia, pisau bengkok khas Yaman. Selain merupakan sebuah kebanggaan, Jambia juga konon melambangkan kedewasaan lelaki Yaman.
Saat berjalan di jalanan Kota Sana’a yang arus lalu lintasnya berlawanan dengan arah dengan lalu lintas di Indonesia tersebut, kami berpapasan sebuah mobil yang pengemudinya mengklakson keras sambil berteriak “Assalamualaikum, Indonesia,’’. Dengan wajah ramah, lelaki berjenggot tipis itu melambaikan tangan kepada kami. Usut punya usut, ternyata bagi warga Yaman, Indonesia tidak asing.
Orang Indonesia di negeri ini sangat dihormati. Soalnya sebagian besar orang Indonesia di Yaman, adalah mahasiswa yang kuliah diberbagai perguruan tinggi terkemuka. Selain itu konon orang Arab di Indonesia, sebagian besar berasal dari Yaman. Sehingga wajar saja, bila ada ikatan khusus antara Indonesia dan Yaman.
Ustadz Muhsin, warga Indonesia keturunan Yaman yang sudah 1 tahun menetap di Madinah, menjelaskan bahwa sebetulnya Kota Aden (dulu ibukota Yaman Selatan) lebih rapi dan maju ketimbang Sana’a (dulu ibukota Yaman Utara). Bangunan-bangunan modern banyak berdiri di Aden, sedang di Sana’a umumnya bangunan lama.
Saat Yaman Utara dan Selatan bersatu kembali tepat 17 tahun lalu, Aden, yang merupakan jajahan Inggris menjadi ibukota perekonomian bagi Yaman. Sedangkan Sana’a yang konon dekat dengan pengaruh komunis Rusia, menjadi ibukota pemerintahan.
Selain bangunan dan rumahnya yang sangat unik karena bertengger di atas gunung cadas, negeri yang peduduknya mayoritas muslim ini memiliki sejumlah situs sejarah Islam, mulai dari Istana Siti Balqies (Ratu Jin yang diperistri Nabi Sulaiman), hingga ka’bah palsu yang dibuat Raja Abrahah bin Al Asyram, Gubernur Abbesinia di Yaman.
Menurut kisah, Raja Abrahah berobsesi menarik perhatian orang Arab, termasuk penduduk Mekkah dari Ka’bah ke Yaman dengan membangun sebuah bangunan megah. Karena usahanya gagal, Abrahah bersumpah menghancurkan Ka’bah. Raja Abrahah dan pasukannya akhirnya menemui ajal, saat diserang burung-burung Ababil dengan hujanan batu api yang konon berasal dari neraka.
Nah, setelah menikmati sepintas suasana Kota Sana’a dan beberapa objek wisatanya, tak ada salahnya membeli souvenir khas setempat. Mencarinya tak berapa sulit, karena toko cinderamata bisa ditemui di Hotel Al Musyafir atau Bandara Int’l
Yaman. Mulai dari Pisau Jambia berbagai ukuran, miniature bangunan khas Sana’a plus masjid raya, hingga Istana Siti Balqies.
Di Sana’a selain mata uang Riyal Saudi, US Dollar pun diterima. Bahkan sejumlah toko dan counter souvenir di Bandara Int’l Yaman, umumnya mengunakan mata uang US Dollar. Tapi jangan terkecoh dengan Riyal Yaman. Walau namanya sama, namun nilainya jauh berbeda bisa dibanding dengan Riyal Saudi.
Puas berkeliling Sana’a, pukul 12.00 kami terbang dengan Yemenia menunju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Perjalanan memakan waktu 2, 5 jam. Tidak ada perbedaan waktu antara Jeddah dan Sana’a. Di Bandara King Abdul Aziz kami dijemput Helmi, perwakilan biro travel Attarimi.
Dengan minibus yang dikendarai Nasrun, warga Saudi Arabia yang terus nyerocos dengan Bahasa Arab, kami menempuh perjalanan darat yang amat panjang ke Madinah Al Munawaroh.
Di tengah jalan, kami sempat mampir ke rumah makan orang Arab untuk merasakan nikmatnya santap siang ala kerajaan yang kini dipimpin keluarga Wahabi tersebut. Menunya, hemm… nasi kuning, ikan goreng dan semur daging unta. (**)
Langganan:
Postingan (Atom)