Sabtu, 28 Juli 2007

Sana’a, kota diantara gunung-gunung cadas



JAZIRAH Arab sejak dulu dikenal sebagai tanahnya para nabi. Bagaimana tidak, banyak nabi Allah SWT yang berasal dari kawasan itu. Kisah-kisah dan tempat yang berkaitan dengan perjuangan para nabi pun banyak ditemui di Jazirah Arab. Nah, saya beserta 9 rekan wartawan media cetak dan elektronik Palembang pada 5 hingga 12 Juli 2007 lalu berkesempatan menapaki jejak kejayaan Islam, khususnya di sejumlah kota Jazirah Arab, yakni Sana’a (Yaman), Jeddah, Mekkah, dan Madinah (Saudi Arabia). Berikut catatan singkat saya saat menikmati Kota Sana’a, Yaman.
Wisata rohani ke tanah para nabi dimulai Kamis, 5 Juli, pukul 07.45 WIB, saat pesawat Garuda membawa saya dan rombongan meninggalkan Bandara SMB II menuju Bandara Internasional Soekarno Hatta, Jakarta. Perjalanan kemudian diteruskan dengan pesawat Airbus Yaman Air (Yemenia). Rute penerbangan cukup panjang, yakni Jakarta, Kuala Lumpur (Malaysia), Dubai (Uni Emirat Arab) dan Sana’a.
Setelah menempuh penerbangan melelahkan selama 12 jam lebih, termasuk transit masing-masing 1 jam di Kuala Lumpur dan Dubai, Jumat (6/7) sekitar pukul 03.00 waktu Sana’a (waktu Sana’a lebih lambat 4 jam dari WIB) saya tiba di bandara internasional Sana’a.
Walau internasional, namun bandara Sana’a kalah keren jika dibandingkan Bandara SMB II, baik dari kebersihan maupun kemegahan bangunannya. Bahkan kalau boleh dibilang, bandara Sana’a agak sedikit jorok. Dari bandara Sana’a, kami diinapkan di Hotel Al Musyafir yang ada di pusat Kota Sana’a. Soalnya pesawat ke Jeddah baru terbang
esok siang.
Dalam perjalanan menuju hotel, saya menemui keunikan budaya Yaman. Bus Palembang Pos berpapasan dengan konvoi mobil dengan suara klakson memekakkan telinga. Menurut sopir bus, konvoi yang mirip aksi penggila sepakbola itu rombongan pengantin Sana’a.
Masih diliputi rasa kagum, saya dan rombongan tiba di Hotel Al Musyafir yang juga kantor perwakilan Yaman Air di Sana’a. Setelah beristirahat, sambil mengisi waktu menunggu pesawat ke Jeddah, kami sempat mengelilingi Kota Sana’a yang bersuhu lumayan dingin.
Wajar saja dingin, karena kota ini ada di daerah pegunungan. Bahkan banyak bangunan di Sana’a, yang dipahat di gunung-gunung cadas, termasuk Hotel Al Musyafir tempat kami menginap.
Di Sana’a, suasana “perang saudara” yang terjadi belasan tahun lalu masih terasa. Kawasan Kota Sana’a yang dikelilingi bukit cadas, mirip dengan suasana Jalur Gaza di Palestina. Walau
geliat pembangunan, nampak terasa disana-sini. Satu lagi peninggalan masa konflik, yakni pasukan keamanan Yaman masih nampak menenteng senjata AK-47. Konon saat masih terbelah menjadi Yaman Selatan dan Utara, AK-47 dan sejenisnya dijual bebas di pinggir jalan oleh pedagang kaki lima.
Di setiap sudut kota Sana’a, foto orang kuat Yaman, Presiden DR Ali Alfallah Saleh Nampak mejeng, termasuk di lobi Hotel Al Musyafir. Pamor Ali Alfallah Saleh bisa disejajarkan 3 orang kuat di Asia, yakni Soeharto dari Indonesia, Saddam Husein dari Irak dan Kolonel Muammar Khadafi dari Libya.



Satu lagi budaya unik lelaki Yaman, yang mirip wong Plembang. Setiap lelaki Yaman selalu membawa Jambia, pisau bengkok khas Yaman. Selain merupakan sebuah kebanggaan, Jambia juga konon melambangkan kedewasaan lelaki Yaman.
Saat berjalan di jalanan Kota Sana’a yang arus lalu lintasnya berlawanan dengan arah dengan lalu lintas di Indonesia tersebut, kami berpapasan sebuah mobil yang pengemudinya mengklakson keras sambil berteriak “Assalamualaikum, Indonesia,’’. Dengan wajah ramah, lelaki berjenggot tipis itu melambaikan tangan kepada kami. Usut punya usut, ternyata bagi warga Yaman, Indonesia tidak asing.
Orang Indonesia di negeri ini sangat dihormati. Soalnya sebagian besar orang Indonesia di Yaman, adalah mahasiswa yang kuliah diberbagai perguruan tinggi terkemuka. Selain itu konon orang Arab di Indonesia, sebagian besar berasal dari Yaman. Sehingga wajar saja, bila ada ikatan khusus antara Indonesia dan Yaman.
Ustadz Muhsin, warga Indonesia keturunan Yaman yang sudah 1 tahun menetap di Madinah, menjelaskan bahwa sebetulnya Kota Aden (dulu ibukota Yaman Selatan) lebih rapi dan maju ketimbang Sana’a (dulu ibukota Yaman Utara). Bangunan-bangunan modern banyak berdiri di Aden, sedang di Sana’a umumnya bangunan lama.
Saat Yaman Utara dan Selatan bersatu kembali tepat 17 tahun lalu, Aden, yang merupakan jajahan Inggris menjadi ibukota perekonomian bagi Yaman. Sedangkan Sana’a yang konon dekat dengan pengaruh komunis Rusia, menjadi ibukota pemerintahan.
Selain bangunan dan rumahnya yang sangat unik karena bertengger di atas gunung cadas, negeri yang peduduknya mayoritas muslim ini memiliki sejumlah situs sejarah Islam, mulai dari Istana Siti Balqies (Ratu Jin yang diperistri Nabi Sulaiman), hingga ka’bah palsu yang dibuat Raja Abrahah bin Al Asyram, Gubernur Abbesinia di Yaman.
Menurut kisah, Raja Abrahah berobsesi menarik perhatian orang Arab, termasuk penduduk Mekkah dari Ka’bah ke Yaman dengan membangun sebuah bangunan megah. Karena usahanya gagal, Abrahah bersumpah menghancurkan Ka’bah. Raja Abrahah dan pasukannya akhirnya menemui ajal, saat diserang burung-burung Ababil dengan hujanan batu api yang konon berasal dari neraka.



Nah, setelah menikmati sepintas suasana Kota Sana’a dan beberapa objek wisatanya, tak ada salahnya membeli souvenir khas setempat. Mencarinya tak berapa sulit, karena toko cinderamata bisa ditemui di Hotel Al Musyafir atau Bandara Int’l
Yaman. Mulai dari Pisau Jambia berbagai ukuran, miniature bangunan khas Sana’a plus masjid raya, hingga Istana Siti Balqies.
Di Sana’a selain mata uang Riyal Saudi, US Dollar pun diterima. Bahkan sejumlah toko dan counter souvenir di Bandara Int’l Yaman, umumnya mengunakan mata uang US Dollar. Tapi jangan terkecoh dengan Riyal Yaman. Walau namanya sama, namun nilainya jauh berbeda bisa dibanding dengan Riyal Saudi.
Puas berkeliling Sana’a, pukul 12.00 kami terbang dengan Yemenia menunju Bandara King Abdul Aziz, Jeddah. Perjalanan memakan waktu 2, 5 jam. Tidak ada perbedaan waktu antara Jeddah dan Sana’a. Di Bandara King Abdul Aziz kami dijemput Helmi, perwakilan biro travel Attarimi.
Dengan minibus yang dikendarai Nasrun, warga Saudi Arabia yang terus nyerocos dengan Bahasa Arab, kami menempuh perjalanan darat yang amat panjang ke Madinah Al Munawaroh.
Di tengah jalan, kami sempat mampir ke rumah makan orang Arab untuk merasakan nikmatnya santap siang ala kerajaan yang kini dipimpin keluarga Wahabi tersebut. Menunya, hemm… nasi kuning, ikan goreng dan semur daging unta. (**)

3 komentar:

  1. http://tom-26974.blog.friendster.com/2007/08/wisata-rohani-ke-tanah-para-nabi-1/

    BalasHapus
  2. Assalamu alaikum wr.wb. Salam sejahterah untuk kita semua... perkenalkan nama saya ABDUL ROCHMAN Alamat. Desa sukowilangun Kec. Kalipare Kab. Malang. duluh kerja di taiwan sebagai TKI selama 3 thn, saya berterima kasih banyak kpd teman saya yg ada di singapura..! Berkat postingan dia disalah satu webs yg saya baca, saya bisa kenal namanya MBAH DUIHANTORO guru spiritual pesugihan uang gaip dan nomor togel 4D/6D... pikir-pikir kurang lebih 2 thn kerja jd TKI di taiwan hanya jeritan batin dan tetes air mata ini selalu mengharap tapi tdk ada hasil sama sekali, mana lagi dapat majikan galak. Salah sedikit kena marah lagi,, tiap bulan dapat gaji hanya separoh saja. Itupun tidak cukup untuk biaya keluarga di kampung, tp saya beranikan diri tlp nomor MBAH DUIHANTORO di nomor 0852 9846 3149. Untuk minta bantuannya melalui DANA GHAIP nya. Syukur alhamdulillah benar-benar terbukti sekarang. Terima kasih ya allah atas semua rejeki mu ini, saya sudah bisa pulang ke kampung halaman buka usaha skrg. Jika teman minat butuh bantuan MBAH DUIHANTORO silahkan hubungi sekarang demi alloh ini.
    https://pesugihangaibnyata77.blogspot.com/?m=1

    BalasHapus
  3. Bukan keluarga wahabi tong tp keluarga al saud,tulisan yg bagus tp editornya kaleng kaleng,endingnya anti klimaks.gara2 kata2 WAHABI artikel bagus ini jadi buruk dan berbau anti ABDUL WAHAB (cari artikel t
    entang siapa abdul wahab dan apa itu wahabi?),udah pada tua2 tp dangkal.silahkan komplain saya kl mau 087806528111

    BalasHapus