Sabtu, 15 Desember 2007

Dari Suvarnabhumi ke Kasetsart University



KUNJUNGAN ke Bangkok, Thailand, bersama rombongan atlet polo air Akademi Akuatik Sekayu (AAS), 21-26 November lalu, merupakan kunjungan kali kedua saya ke negeri yang diperintah oleh Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit itu. Soalnya akhir 2005 lalu, saya pernah berkunjung ke Bangkok. Banyak sekali perubahan di Bangkok yang mencengangkan saya. Mulai dari bandaranya yang kian “wah”, diterimanya Rupiah di salah satu bank Thailand, hingga sangat lengkapnya fasilitas olahraga di Kasetsart University. Nah, berikut catatan perjalanan saya di negeri Gajah Putih tersebut.
Dengan pesawat Airbus A320 maskapai Air Asia, saya bersama 2 rekan wartawan Palembang dan rombongan ASS tiba di Bangkok. Saat berkunjung ke Thailand 2 tahun lalu, saya mendarat di bandara internasional Don Muang. Kali ini, Saya disambut dengan kemegahan bandara baru Thailand, Suvarnabhumi.
Suvarnabhumi dibaca dalam Bahasa Thai diucapkan Suvarna-poom. Suvarnabhumi bagi telinga kita sangat akrab, karena dekat dengan julukan Pulau Sumatera yakni Swarna Dwipa. Keduanya sama-sama punya arti pulau/bumi emas.
Bandara internasional Suvarnabhumi sangat megah. Sebuah megaproyek yang digagas oleh Perdana Menteri Thailand terdahulu, Thaksin Sinawatra, benar-benar hebat. Bandara yang informasinya mampu menampung 45 juta penumpang setahun dan diproyeksikan dalam beberapa tahun nanti kapasitasnya membengkak menjadi 58 juta orang penumpang, adalah bandara supersibuk dan lengkap dengan beragam fasilitas yang amat wah.
Letak Suvarnabhumi sekitar 28 km di Timur Bangkok. Sedang Don Muang, airport lama, letaknya 24 km di Utara Bangkok. Bandara Suvarnabhumi resminya dibuka 28 September 2006 setelah 45 tahun menunggu. Konstruksinya unik tapi simpel, karena didominasi bahan panel aluminium dan kaca mulai lantai dasar hingga lantai kedua. Arsitekturnya futuristic, walau sentuhan khas Thailand masih nampak kental.
Di setiap sudut bandara, pasti ada ornamen khas Thailand. Bahkan di beberapa bagian, patung raksasa khas Thai nampak kian mempertegas tingginya kekayaan budaya negara tersebut. Setiap bagian di bandara ini dihubungkan dengan eskalator dan lift, yang kembali didominasi kaca dan kaca. Saya kian berdecak kagum, saat melihat ruang kedatangan yang amat megah. Belum lagi ruangan utama bandara Suvarnabhumi yang sangat luas dan lengkap.
“Wah, bandara Soekarno-Hatta dan SMB II yang sudah begitu megah, masih kalah bila dibandingkan bandara Suvarnabhumi,’’ batin saya. Puas menikmati bandara yang katanya dibangun dengan dana 150 miliar Bath tersebut, saya dan rombongan naik bus menuju hotel yang ada di agak pinggir Kota Bangkok. Memang rombongan sengaja memilih hotel tersebut, karena dekat dengan Kasetsart University, tempat klub polo air Chulabhron yang akan dijajal tim polo air Muba.
Setelah istirahat, esok sorenya saya dan rombongan bergerak ke Kasetsart University. Sama saat tiba di bandara Suvarnabhumi, saya tak putus-putus berdecak kagum saat masuk ke kompleks Kasetsart University. Bagaimana tidak, di dalam kompleks kampus tersebut saya melihat lengkapnya beragam sarana olahraga. Mulai dari stadion sepakbola, soft ball, atletik, renang, hingga berbagai hall yang dipenuhi orang berolahraga.



Kondisi serupa juga tampak saat masuk ke dalam kolam renang Chulabhorn. Kolam yang menjadi venues cabang akuatik ASIAN Games ke 8 tahun 1978 tersebut, memiliki 5 buah kolam renang plus 1 menara loncat indah. Dari 5 buah kolam, 2 kolam renang yang dipayungi atap. Semakin malam, kelima kolam renang itu dipadati orang beragam usia, mulai anak-anak hingga dewasa. Tak hanya sarana olahraga akuatik, di komplek kolam renang itu juga ada kantin yang amat lengkap isinya. Sehingga orang yang lelah berenang, dapat langsung melepas letih di dalam kantin.
“Perhatian pemerintah kami terhadap pembinaan olahraga sangat besar,’’ ujar pelatih klub polo air Chulabhorn Aquatic Club, Bangkok, Pinate Perkasame. Apa yang dikatakan pimpinan di salah satu bank swasta di Thailand ini sangat beralasan, jika melihat banyaknya sarana olahraga di negara kerajaan yang bulan ini sedang menggelar perhelatan SEA Games.
Satu lagi hal menarik yang saya dapatkan di Bangkok. Saat ini mata uang Indonesia sudah diterima salah satu bank Thailand, Siam Commercial Bank. Dua tahun lalu, saya hampir “mati kelaparan” karena mata uang Rupiah tak diterima saat hendak ditukarkan dengan Bath. Tapi perbandingan tukarnya sangat jauh. Dari kurs normal 1 Bath untuk Rp 300, bank itu menetapkan Rp 400 untuk 1 Bath.
Walau agak kesal karena uang di kocek yang kian menipis, saya terpaksa mau menerima jumlah tersebut. “Daripada kelaparan lagi,’’ ujar saya dalam hati. Nah, perkembangan Bangkok lainnya sejak 2 tahun lalu, yakni kian banyak jalan tol, fly over, hingga under pass yang bertebaran di setiap sudut kota. Bahkan menurut seorang sopir lokal, Bangkok juga kerap disebut kota seribu jembatan. Mungkin karena saking banyaknya jembatan di kota itu.
Karakter penduduknya tetap sama. Selalu berusaha bersikap ramah walau tidak mengerti dengan Bahasa Inggris, apalagi Bahasa Indonesia. Sebagai catatan warga menengah ke atas di Thailand umumnya bisa berbahasa Inggris. Tapi tidak dengan warga menengah ke bawah. Karena bagi mereka, Bahasa Thailand adalah segala-galanya. Bahkan demi menunjukkan jati diri bangsa, papan reklame dan nama toko di semua sudut kota ditulis dengan huruf Thai besar-besar. Kalaupun ada aksara latin, ukurannya sangat kecil dan sedikit jumlahnya. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar