Rabu, 11 Maret 2009

Menikmati deburan ombak Chao Phraya


Bila berbicara soal Bangkok, ibukota Thailand , maka kita akan menemukan kesamaan dengan Kota Palembang, ibukota Sumatera Selatan. Ya, keduanya sama-sama dibelah sungai besar. Palembang dibelah oleh Sungai Musi, sedang Bangkok dibelah Chao Phraya. Walau memiliki banyak kesamaan, Palembang harus belajar banyak dari Bangkok dalam mengemas potensi wisata sungai yang di milikinya menjadi tujuan turis asing maupun lokal.
Nah, dalam kesempatan meliput ASEAN Summit ke 14 (IMTGT Summit) di Bangkok, saya bersama 7 wartawan cetak Palembang didampingi Kabag Humas Pemprov Sumsel Thontowi HE Permana, Staf Protokol Hero serta Daniel dan Merry dari Southern Tour & Travel, 26-28 Februari menjejaki sejumlah objek wisata air andalan negeri yang kini diperintah oleh Raja Bhumibol Adulyadej dan Ratu Sirikit ini.
Chao Phraya kerap juga disebut King River karena panjangnya. Chao Phraya adalah sungai utama di Thailand dengan panjang sekitar 372 kilometer. Sungai Chao Phraya merupakan pertemuan dari empat sungai kecil Ping, Wang, Yom, dan Nan di daerah Nakhon Sawan yang berada di wilayah utara Thailand, dan bermuara di Teluk Thailand.
Sungai Chao Phraya berfungsi mulai untuk irigasi, pasar terapung, dan menjadi tulang punggung transportasi penduduk sekitar melalui kanal-kanal yang ada. Sungai ini menjadi sarana transportasi yang sangat vital sejak Kota Bangkok didirikan pada 1782. Denyut nadi kehidupan Bangkok ada di sungai itu.
Saat melihat Chao Phraya, suasana takjub langsung menerpa. Bagaimana tidak sungai yang sebetulnya tidak lebih lebar dari Sungai Musi itu, benar-benar tertata apik sebagai sebagai objek wisata andalan.



Tepian sungai Chao Phraya didam rapi, dan dipagari sejumlah bangunan megah serta gedung pencakar langit. Sepanjang mata melihat, tidak ada bangunan kumuh yang ada di pinggiran sungai. Semuanya bersih dan rapi. Untuk merasakan lebih dekat Chao Phraya , kami naik ke sebuah perahu wisata dan menyusuri sungai tersebut. Kesan lain yang kami tangkap adalah bersihnya Sungai Chao Phraya.
Wisatawan tak sekali pun mencium bau busuk di Chao Phraya atau kanal-kanalnya. Tidak ada sepotong sampah atau eceng gondok, yang di Sungai Musi menjadi suguhan lazim. Wajar saja, karena budaya hidup bersih sudah tertanam erat di dada warga tepian Chao Phraya.
Menurut Wodi, tour guide asli Bangkok yang fasih berbahasa Indonesia, warga tepian Chao Phraya sudah lama dibiasakan tak membuang sampah rumah tangga ke sungai.
“Sampah diletakkan di depan rumah, dan diambil oleh petugas yang khusus ditugaskan untuk itu. Selain itu, ada kapal yang setiap hari khusus disiagakan membersihkan sungai,’’ jelas Wodi. Satu catatan lagi, tidak ada wc “helikopter” yang nangkring di pinggir sungai seperti di Palembang. Sebab di Chao Phraya, rumah warga umumnya menghadap ke sungai. Tidak seperti di Palembang yang menjadikan sungai halaman belakang rumah mereka. Sungguh hal yang patut ditiru.
Karena bersihnya Sungai Chao Phraya, ikan-ikan dari berbagai jenis tampak jelas bebas berenang. Wargapun tidak tampak menangkapi ikan itu, bahkan menjadikannya salah satu objek wisata. Wisatawan dapat memberi makan ikan dengan roti yang dijual di perahu, dengan harga 20 bath satu bungkus. Apalagi ada pantangan menangkap ikan di depan kuil yang berjejer di pinggir Chao Phraya.



Keunggulan lain Chao Phraya, adalah menjadi sarana transportasi alternatif warga Bangkok. Bangkok selain dikenal dengan sky train dan subway-nya, juga sukses menjadikan bus air sebagai sarana transportasi alternatif. Di sepanjang Chao Phraya dibangun sejumlah dermaga bus air. Sehingga warga Bangkok yang hendak berpergian, lebih memilih naik bus air. Murah dan dijamin tak terjebak kemacetan.
Selain menikmati bersihnya Sungai Chao Phraya, di sepanjang sungai itu wisatawan juga dimanja dengan berbagai bangunan unik dan bersejarah. Ada Candi Budha seperti Temple of Dawn atau Wat Arun, Wat Mahathat yang merupakan pusat kesarjanaan Budha, dan Wat Kalayanam. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar