Selasa, 10 Maret 2009

Uniknya ornamen Candi Wat Arun




Wat Arun Ratchwararam Temple adalah bangunan candi yang berdiri 1872. Sebuah Pagoda yang dibangun Raja Taksin dari Cina yang kemudian diperbesar raja ke 2 Thailand hingga memiliki ketinggian 66 meter. Wisatawan yang mendarat di dermaga, disambut ramah oleh para guide atau pedagang kaki lima yang umumnya warga sekitar. Mereka dipersilahkan masuk ke areal kuil yang letaknya agak tinggi dan dilingkupi pepohonan rindang.
Di dalam komplek itu, terdapat bangunan kuil dengan ornament unik dan amat cantik. Walau jika dibandingkan Borobudur atau Prambanan komplek Wat Arun lebih kecil, tapi penataan menjadi kawasan wisata tidak kalah. Di pagoda warna keperakan ini kita bisa menyaksikan piring-piring porselin ratusan tahun lalu yang ditempel ke dinding kuil.
Karena memiliki ketinggian 66 meter, untuk mencapai bangunan puncak wisatawan harus meniti tangga curam dengan kemiringan hampir 80 derajat. Hanya orang yang “nekad” saja yang mau naik ke atas. Karena saat sudah diatas, walau disuguhi pemandangan indah Chao Phraya , dijamin wisatawan akan takut turun.
Puas dan mandi keringat usai naik ke puncak Wat Arun, kami disuguhi beragam souvernir khas Wat Arun dan Bangkok yang dijual di semacam pasar kecil di samping kompleks candi Budha itu. Topi, gantungan kunci, kipas, barang-barang gerabah, dompet, selendang besar. pakaian sutra model koko, kaos, hingga batu-batu tasbih untuk muslim. Semuanya berkisar 10 bath hingga 1000 bath.
Soal harga tak perlu khawatir, karena disini harga lebih miring dan dijamin keasliannya. Berbeda dengan mall atau toko modern yang menyediakan barang-barang aspal (asli tapi palsu), Wat Arun mengetengahkan produk asli Thailand . Bagi wisatawan Indonesia yang tak mengantongi bath tak perlu khawatir, karena disini mata uang rupiah laku. Untuk 1 lusin kaos bermotif tulisan Bangkok , gajah atau Wat Arun dengan rupiah dihargai Rp 300 ribu. Tapi jika pakai bath, untuk 1000 bath dapat 14 potong kaos. Jika dihitung, harga itu relatif sama dengan di negeri sendiri.
Selain kemudahan yang diterima rupiah, satu lagi yang patut ditiru adalah kemampuan para pedagang melayani wisatawan. Mereka mampu membuat wisatawan yang pada awalnya hanya melihat-lihat, akhirnya membeli souvenir. Mereka lihai dalam taktik berhadapan dengan pelanggan. Sopan, sabar, dan benar-benar menjadikan pembeli adalah raja.



Nilai plus lainnya, umumnya pedagang disini agak fasih berbahasa Indonesia. Mereka akan dengan cepat mengali-ngali baht ke mata uang rupiah. Benar-benar seperti di Indonesia. Menurut Nhok Cun, warga Bangkok keturunan Cina, para pedagang dan pebisnis di Bangkok saat ini punya kewajiban belajar bahasa Indonesia.
“Karena wisatawan Indonesia sangat banyak ke sini. Sehingga kami berusaha belajar dan mengerti bahasa mereka,’’ kata Nhong yang mengaku sedang belajar bahasa Indonesia ini.
Saat hendak menyudahi kunjungan ke Wat Arun, kami mendapatkan surprise. Beberapa pedagang memajang piring antik bermotif Thai dengan foto kita di tengahnya. Foto itu diambil saat kita tiba kali pertama di dermaga Wat Arun. Satu piring harganya 200 baht. Yang ini boleh ambil boleh tidak. Tapi siapa sih yang tak mau mengambil foto close up sendiri yang sudah menempel di piring berhiaskan lambang Thailand ? Ini kan barang kenang-kenangan.
Melihat Wat Arun, kami teringat dengan objek wisata di Sungai Musi yang sekilas sama yakni Pulau Kemaro. Di pulau yang ada di Sungai Musi itu, juga ada vihara tua dan bangunan pagoda yang tak kalah cantiknya. Namun objek wisata itu baru menunjukkan gairahnya setahun sekali, saat peringatan Cap Go Me. Dengan penataan seperti Wat Arun, bukan tidak mungkin hal serupa dapat terwujud di Pulau Kemaro. Apalagi Pulau Kemaro punya nilai lebih dari Wat Arun, yakni berada di tengah-tengah sungai. (**)

Tidak ada komentar:

Posting Komentar