Selasa, 11 Januari 2005
Dari Stadthuys hingga St. Paul's Church
JIKA ke Malaysia tak mampir ke Malaka, rasanya tidak ke Malaysia. Hal itu memang benar, karena Malaka adalah miniature dari negeri Malaysia. Berbagai etnis yang ada di Malaysia, semuanya ada di Melaka. Tidak itu saja, kota pelabuhan ini dikenal kaya dengan seni dan objek wisata sejarah.
Nah, kali ini akan mengajak pembaca menelusuri kota tua Melaka, yang akrab dengan sejarah wong Plembang. Malaka atau kerap juga disebut Melaka, ditemukan oleh pangeran dari Palembang, pada abad 14. Pangeran itu membangun Malaka dari kota nelayan kecil, menjadi sebuah pelabuhan pusat jalur perdagangan kapal dari India dan Cina.
Malaka sebetulnya terbilang dekat dari Singapura. Dengan bis dari Singapura, kita hanya butuh 4 jam untuk sampai ke Malaka. Di kota ini, kita akan temukan banyaknya objek sejarah yang saling berdekatan posisinya. Kita mulai dari komplek bangunan dari bata merah, yang amat cantik dipandang mata. Bangunan bernama The Stadthuys (1650) tersebut, dulunya kediaman Gubernur Jenderal Belanda. Kini bangunan apik itu, difungsikan menjadi Museum Sejarah dan Etnography.
Di museum ini, kita akan menemukan banyak pakaian tradisional Melaka dan peragaan barang peninggalan sejarah. Tak jauh dari Stadhuys, kita akan melihat sebuah gereja yang juga berwarna merah, yakni Christ Church. Gereja yang dibangun pada 1753, memiliki arsitektur khas gaya Belanda.
Dari Christ Church dan Stadthuys, kita akan menaiki tangga yang jumlahnya amat banyak. Tangga itu menuju sisa St. Paul's Church yang berada di puncak St. Paul's Hill atau bukit St. Paul’s. Di dalam sisa gereja tempat tinggal pendeta Katolik Portugis tersebut, kita akan menemukan banyak batu nisan kuno. Nisan-nisan beraksara latin dan Portugis tersebut, dikumpulkan dari sejumlah makam pejabat masa kolonial hingga keluarganya yang ada di sekitar bangunan tua itu.
Konon pada 1553, St. Francis Xavier (Fransiscus Xaverius) pernah disemayamkan di St. Paul’s Church sebelum dibawa ke Goa, India. Dari atas bukit St. Paul’s, kita bisa melihat pelabuhan Malaka. Sejenak di benak kita terbayang puluhan kapal zaman kolonial, yang memenuhi Bandar ramai tersebut.
Dari St Paul’s Church yang dihiasi patung St Paul’s menghadap pelabuhan, kita meneruskan perjalanan menuruni anak tangga menuju ke A’Fomosa. A’Famosa adalah sisa-sisa benteng yang dibangun Portugis setelah berhasil menguasai Malaka. Benteng ini dibangun untuk menghalangi invasi Belanda. Saat ini kejayaan A’Famosa tinggal berwujud pintu masuk benteng saja.
Dari A’Famosa, kita terus berjalan menuju Museum Baba dan Nyonya. Di museum ini, kita bisa melihat jejak perpaduan budaya dan kultur Cina pada bangsa Melayu. Baba maksudnya pria Cina, sedang umumnya Nyonya adalah orang Melayu. Kita tidak hanya disuguhi foto tua yang menggambarkan suasana kehidupan zaman Baba dan Nyonya di Malaka dahulu kala, namun juga beragam peninggalan kala itu.
Keluar dari Museum Baba dan Nyonya, kita berjalan agak memutar menuju Museum Maritim Malaka. Di museum berbentuk kapal Flora De La Mar, kita akan menemui beragam benda peninggalan masa kejayaan maritim di Malaka. Mulai dari berbagai foto kapal tua, meriam, pakaian pelaut, hingga visual kamar tahanan kapal yang kondisinya amat menyeramkan.
Tak puas membedah lambung “Museum Kapal” berwarna hitam tersebut, kita bisa naik ke atas tangga menuju geladak kapal. Disini, kita bisa berfoto dengan latar belakang jembatan megah yang ada didekat pelabuhan. Tepat disisi Museum Bahari, kita bisa melihat sebuah helikopter tua milik AU-nya Malaka. Petugas museum yang berpakaian khas Melayu, pun siap jika diminta foto bersama.
Selain kawasan wisata tersebut, Malaka masih banyak lagi menyimpan objek kunjungan turis yang amat menarik. Misalnya Mouselium Hang Jebat dan Hang Kasturi, Jalan Jonker’s, Memorial Hall yang menjadi saksi bisu saat pernyataan kemerdekaan dari Inggris pada 1912, Portuguese Square, Kuil Sam Po Kong, Kuil Sri Poyyatha Vinayagar Moorthi, Gereja St. Francis Xavier's yang dibangun pada 1849 oleh orang Perancis, serta Benteng St. John's Fort yang dibangun orang Belanda pada pertengahan abad 18.
Kalau kita kunjungi seluruh objek wisata tersebut, dipastikan sehari tak akan selesai. Apalagi Melaka yang ada di dekat laut, selalu dibanjiri sinar matahari yang amat terik. Untuk itu sebagai referensi, kami usulkan kepada anda untuk menyewa becak sepeda yang biasanya banyak mangkal di seputaran Stadthuys. Dengan harga hanya beberapa Ringgit Malaysia, anda sudah bisa mendatangi banyak objek wisata di kota Malaka. **
Langganan:
Postingan (Atom)